Auillevich, l'Esterspellel'Esterspelle masih sama seperti yang pernah Lucan ingat: pemandangan yang artistik dan indah. Ibu Lucan beberapa kali membawa Lucan ke negara yang disebut surga ini untuk menengok ayahnya sedang 'bekerja'. Lucan kecil menyukai tempat ini dan selalu menantikan kunjungan berikutnya, biarpun itu berarti dia harus menemui ayahnya. Hanya saja, perasaan Lucan sekarang sudah agak berubah. Mungkin karena tidak ada ibunya yang menemani. Atau hanya karena dia sudah tumbuh besar sehingga lupa caranya bersenang-senang.
Seorang penerima tamu dari klien menyambut mereka turun dari kereta. "Selamat datang, Tuan Rothstein! Dan Tuan Muda Rothstein." Lucan memperhatikan nadanya tidak antusias menyapa Lucan. "Apakah Tuan-tuan sekalian mau beristirahat dahulu sebelum berangkat?"
"Tidak usah," kata Paman Maximillian.
"Baiklah. Silakan, sebelah sini." Dia mengantarkan mereka ke kereta kuda menuju Vi Aletti. Sepanjang perjalanan mereka terus-menerus diajak berbicara oleh si penerima tamu. Paman Maximillian tidak berkeberatan menanggapi percakapan, tetapi Lucan tidak terlalu menyukai orang ini. Senyumnya dibuat-buat. Dia mengalihkan perhatian ke jalanan. Eon-eon merah masih berkelebatan di udara walau jumlahnya lebih sedikit.
Pasti Odzwielg tahu sesuatu... Mungkin dia akan menyelinap keluar lagi kalau ada kesempatan. Daripada mengurusi klien mereka, Lucan lebih tertarik mencari tahu ada apa yang sedang terjadi. Otaknya mulai bekerja, merencanakan hendak ke mana sampai Vi Aletti nanti. Semoga tidak banyak yang berubah dari kota itu.
"Sepi sekali," komentar Paman Maximilian, memperhatikan jalanan kota stasiun. "Apakah karena eon-eon malfungsi?"
"Begitulah. Para penduduk ketakutan dan lebih banyak berdiam di rumah, khawatir akan muncul monster lagi. Tapi para utusan Odzwielg di l'Esterspelle sedang menangani kasus ini, jadi kami bisa lebih tenang sekarang."
Ck. Sudah ada orang dari Odzwielg yang menangani ini rupanya. Atau mungkin ini bisa jadi alasan bagus...
"Paman, bolehkah aku menemui utusan Odzwielg ini?" tanya Lucan.
"Untuk apa?" Paman Maximillian balik bertanya.
"Bukankah Paman bilang aku harus -- harus mencontoh Karen dan menemui orang-orang penting? Biarkan aku belajar dari orang-orang ini." Huh. Dia rasanya ingin berkumur setelah mengatakannya.
Paman Maximillian menatap Lucan dengan tatapan menilai. Lucan sudah mulai melepas harapan kalau permohonannya akan diterima. Di luar dugaan, ternyata Paman Maximillian mengiyakan. "Jangan lupa untuk menjaga sikapmu saat bersama mereka."
"Baik."
Ternyata lebih lancar dari dugaan Lucan.
***
Vi Aletti, l'EsterspelleSekarang, Lucan, akan ke manakah dirimu?Dia sama sekali tidak memiliki rencana yang solid selain berkeliling Vi Aletti. Dia tidak melihat orang Odzwieg satupun dari tadi. Sepanjang jalan sepi dari orang. Yang ada di jalanpun tampangnya agak was-was dan penuh kecurigaan; berbeda dengan ingatan Lucan dari masa lalu di mana orang-orang tampak ramah. Mungkin karena dia benar-benar kelihatan seperti seorang Odzwielg. Atau jangan-jangan karena bajunya? Seharusnya dia berganti ke baju yang tampak lebih sederhana dulu. Dia tidak menyukai tatapan orang-orang di jalanan. Mereka tampak begitu menilainya, menatapnya dengan tajam.
"Hei, kau." Seseorang menepuk pundaknya.
Lucan menjengit. "A-Ada apa?!"
Seorang pria pirang bertampang cantik menatapnya keheranan -- berlebihan sekali reaksi anak ini. Dia menyerahkan sebuah dompet. "Ini punyamu, kan?"
Lucan menarik dompet itu dari tangan si pria. Kapan dompetnya terjatuh? Dia tidak sadar. Jangan-jangan sebenarnya dia copet. Diperiksa isi dompetnya -- masih lengkap. "Terima kasih."
Si pria cantik mendengus sebal. Tidak sopan sekali, sudah dibantu reaksinya dingin begitu.
Lucan sudah hendak pergi, tapi si pria menahannya lagi. "Tunggu. Rambutmu berantakan," katanya pelan. Sisir dan gel rambut keluar dari sakunya. Tanpa babibu lebih lanjut dia langsung menyisir rambut Lucan.
"Hei, apa-apaan---"
"Diam dulu." Lucan merasakan sesuatu yang dingin menyentuh ujung kepalanya, lalu menyebar ke seluruh rambut. "Nah, beres. Sudah rapi sekarang."
Dengan kesal Lucan mengacak tatanan rambut si pria gadungan. Rambutnya, terserah dia mau berantakan atau tidak. Dia bukan anak kecil lagi. "Jangan sentuh aku semaumu! Dan jangan seenaknya menyebutku tidak rapi -- kau tidak punya hak untuk mengurusi penampilanku! Dasar aneh..."
"Hei, kau yang aneh! Dibantu malah marah-marah. Dasar anak muda jaman sekarang..." Dengan kepala mendongak si pria berambut pirang meninggalkan Lucan.
"Eh, tunggu! Apakah kau melihat orang Odzwielg lain di Vi Aletti?"
"Apa? Orang Odzwielg? Tidak ingat. Aku sudah bertemu puluhan orang hari ini."
"Seburuk apa pula daya ingatmu? Satu di antara puluhan orang tidak akan susah untuk dihafal atau diingat kembali."
"Memangnya kau memperhatikan orang di sekitarmu kalau kau sedang bekerja?! Aku juga tidak akan memberi tahumu kalau memang aku melihat. Sudah ya, aku capek berurusan dengan orang sepertimu."
"Pergilah sana! Memangnya aku peduli?!"
...Tampaknya dia akan benar-benar pergi. Lucan mendadak tidak enak karena dia adalah penduduk lokal. Setidaknya dia dapat membantunya suatu hal (selain menata rambutnya). Apalagi paman sudah berpesan agar dia menjaga sikap. Lucan memanggil dengan suara kecil. "H-Hei, kau."
"Ada apa? Sebenarnya kau mau apa, sih?"
"... Maaf soal tadi. Maksudku, ehem, kupikir kau bisa sedikit membantu di sini. Aku tidak biasanya meminta-minta seperti ini, namun aku tidak mengetahui seluk-beluk mengenai tempat ini... Aku terpisah dari keluargaku dan tidak tahu harus mencari di mana." Lucan terpaksa merancang kebohongan untuk mendukung rencananya.
"Hmph. Apa boleh buat," si pria mengalah. "Aku memang tidak ingat melihat orang Odzwielg satupun tadi pagi. Tapi mungkin Ophelia atau Stefano melihat."
Alis Lucan terangkat mendengar dua nama asing itu.
"Ophelia adalah seniman di sini. Kalau Stefano... Kalau kau orang lokal -- apalagi wanita -- pasti kenal dengan Stefano Cavalcanti."
"Aku bukan dari l'Esterspelle," Lucan mengingatkan. "Aku juga bukan wanita."
"Ikut aku. Setahuku Ophelia sedang bekerja di salah satu hotel di dekat sini."
Seniman? Lucan langsung membayangkan seorang wanita nyeni, berambut panjang anggun sedang melukis di ruangan mewah. Apalagi melihat hotel yang mereka tuju kelihatan cukup mewah. Harapannya naik. Sepertinya Ophelia ini adalah orang terkenal. Si pria pirang bertanya pada penjaga hotel di manakah Ophelia. Penjaga bergantian melihat si pirang dan Lucan. "Tunggu di sini. Biar aku panggilkan."
"Siapa namamu? Aku Sebastian Fraischten, pesulap jalanan." Sebastian memperkenalkan diri sementara mereka menunggu.
Pesulap jalanan? Lucan pikir dia bekerja di salon atau apa. "Aku... Lucan Redstone." Dia tidak berniat memberi tahu nama aslinya, tidak ingin ada yang mengenalinya sebagai Rothstein.
"Untuk apa anak sepertimu nerjalan terpisah dari kelurgamu? Tidakkah kau tahu baru-baru ini ada serangan monster karena itu?" Sebastian mengangguk ke langit yang kemerahan karena eon-eon malfungsi.
Lucan berusaha merancang kebohongan. "Aku tertinggal rombongan. Dan aku bukan anak kecil."
"Kau ditinggal mereka?" Sebastian mulai mengasihani Lucan.
Sabar, Lucan. Pintar-pintarlah bersandiwara. "...Iya."
"Kau memanggilku, Sebastian?"
"Ah, Ophelia. Maaf mengganggumu."
Lucan nyaris bengong melihat si Ophelia ini. Rambut panjang bergelombang dan nyeni (celemeknya belepotan cat di sana-sini), memang, tetapi penampilannya yang serba hitam lebih mengingatkan Lucan akan nenek sihir di cerita-cerita sebelum tidur. Apalagi lingkar hitam di sekitar matanya kentara, membuatnya kelihatan tidak niat hidup. Jangan-jangan Sebastian salah orang.
"Anak ini terpisah dari keluarganya. Kau melihat orang-orang Odzwielg hari ini?" tanya Sebastian.
Ophelia terdiam lama sekali. "Sepertinya iya. Ada satu-dua orang datang ke hotel."
"Seperti apa wajah mereka?" Lucan cepat bertanya.
"Sebentar." Ophelia mengambil kertas entah dari mana dan mulai membuat sketsa wajah dengan pensil. Gambarnya bagus -- Lucan agak malu telah menyangsikan profesinya. "Seperti ini."
Opheli menyerahkan kertas sketsa pertama. Pemuda berambut pendek berantakan bertampang angkuh. Bajunya khas militer Odzwielg.
Ophelia lalu menyerahkan kertas berisi orang kedua. Wanita berambut pendek. Warna sketsa yang hitam putih menyulitkan Lucan menebak apakah mereka memang orang Odzwielg yang khas dengan kulit dan rambut pucat.
"Mereka keluargamu?" Sebastian ikut melihat kedua sketsanya.
"B-Begitulah. Boleh aku bawa ini?"
"Silakan. Semoga bisa cepat bertemu keluargamu, ya."
"Uh, terima kasih. Aku permisi dulu," Lucan beranjak pergi dari beranda hotel, tapi Sebastian menahannya.
"Tunggu. Biar aku temani kau. Tidak baik berjalan sendirian di kota asing," kata Sebastian.
"Aku bukan anak kecil," Lucan mengulang jengkel.
"Iya, iya, tapi kamu tetap saja tersesat."
Tarik nafas. Keluarkan pelan. Dia harus setia pada sandiwaranya. ".....baiklah."
***
"Siapa nama mereka?"
"Huh?"
"Nama mereka. Biar lebih gampang mencarinya," Sebastian mengangguk ke sketsa di tangan Lucan.
Gawat. Lucan harus segera mengarang sesuatu. Inilah mengapa dia tidak ingin diikuti si banci penampilan ini -- cepat atau lambat dia pasti akan banyak tanya. Mungkin si Sebastian ini sebenarnya tahu siapa dirinya dan tujuan aslinya. Dia sedang diawasi. Odzwielg memang ada di mana-mana, mengawasi Lucan dan gerak-geriknya...
"Hei! Kau dengar tidak kataku?"
Tangan Lucan gemetar dan keringat dingin mengucur dari dahi. "A-Aku tidak apa-apa!"
...ada apa dengannya hari ini? Rasa takut dan khawatir terus mengikutinya. Tengkuknya terus merinding. Dia melihat ke sekeliling -- dan semakin yakin kalau sesuatu memang mengikutinya.
"Kau mau istirahat dulu? Kau kelihatan tidak sehat," usul Sebastian.
"T-tidak perlu. Aku harus segera bertemu mereka... Kau pergi saja. Memang tidak ada urusan lain?"
"Kalau ada apa-apa denganmu, aku jadi tidak enak. Lagipula aku tidak ada rencana pertunjukkan hari ini. Ayo, istirahat dulu."
Lucan menyerah dan membiarkan Sebastian membawanya ke sebuah kafe kecil di pojok kota. Betapa kagetnya Lucan mendengar suara ribut begitu dia masuk kafe -- sejenak dia pikir ada serangan monster lagi. Ternyata ada kumpulan wanita dengan suara kekaguman dan memuji yang dibuat-buat.
"--atau kau mau ke Melophia? Keluargaku punya villa di sana!"
"Ke Yozakura saja! Cuacanya hangat!"
"Ikut ke Rientoult denganku!"
Seorang pria dengan rambut spiky dan dikuncir panjang mengeluarkan nafas panjang. "Maaf,
ladies, aku ingin sendiri dulu saja. Aku sedang ada kerjaan hari ini. --Ah, itu dia temanku! Halo, Sebastian! Kamu lama juga." Dia meninggalkan meja dan kerumunan wanita, melemparkan
kiss bye. Lucan memperhatikan ada tato di pergelangan tangan kirinya -- Stefano. Si Cavalcanti yang dimaksud Sebastian itu orang ini? Kenapa sih dia bertemu orang aneh terus sejak di Melophia?!
Stefano merangkul Sebastian dan Lucan, menggiring mereka menjauh dari
fangirls Stefano. Mereka tampak kecewa dan langsung membubarkan diri. "Beruntung sekali kamu datang, Sebastian. Aku sudah nyaris membentak mereka," ucap Stefano penuh kelegaan.
"Kami juga beruntung -- kebetulan kami sedang mencarimu."
"Bantuan? Oh, siapa anak ini?"
"Namanya Lucan," kata Sebastian. "Dia dari Odzwielg dan terpisah dari keluarganya. Kau lihat dua orang ini?" Sebastian menarik sketsa wajah dari Lucan dan menyerahkannya ke Stefano.
Stefano mengerutkan dahi. Dia menatap Lucan dengan tajam. "Mereka keluargamu?"
"B-begitulah."
"Hmm." Stefano kembali melihat kedua sketsa -- wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya. Apa yang sedang dia pikirkan? Lucan berusaha tenang; dia tidak akan curiga macam-macam pada anak sepertinya. Tenanglah, tenanglah... "Baiklah. Aku akan menghubungi beberapa orang untuk membantu. Kau tunggu saja dulu. Sebastian, ikut aku."
Keduanya keluar dari kafe. Sekilas Lucan menangkap Stefano kembali meliriknya. Stefano pasti mengetahui sesuatu tentang dua orang ini. Wajahnya semakin serius saat membicarakan dua orang di sketsa itu dengan Sebastian.
Mumpung mereka berdua tidak ada, sekarang saatnya aku kabur... Lucan menyelinap keluar dari pintu belakang kafe, tiba di gang kumuh. Ini pertama kalinya dia melihat sisi lian Vi Aletti yang biasanya indah. Apa boleh buat, kalau dari jalan depan bisa kepergok Sebastian dan Stefano. Ada perasaan bersalah telah meninggalkan Sebastian yang sudah repot-repot membantunya, tapi mulai dari sini dia bisa sendiri, kok.
Seorang gelandangan menyuiti Lucan. "Heeeei, Nona manis! Kok sendirian aja?"
Lucan menyikut si gelandangan agar menjauh; baunya memuakkan sekali. Lucan ingin membentaknya -- apanya yang manis darinya? -- tapi dia sudah kelelahan. Lagipula si gelandangan tampak nge-
fly. "Minggir."
"Jangan begitu, dong. Tidak baik sendirian di tempat begini -- biar aku temani. Ehehehe~" Tangan kotor si gelandangan menggandeng Lucan, menarik-nariknya.
"Apaan--"
"Maaf,
nona ini sudah bersama saya." Sebuah tangan lain menariknya dengan kasar dari gelandangan. Jantung Lucan rasanya langsung berhenti melihat penolongnya -- si pemuda angkuh yang digambarkan Ophelia. Si gelandangan langsung mundur, ikut merasa terancam oleh kehadirannya.
"Aku sudah menemukannya, En." Lengan si pemuda yang mengenakan gelang didekatkan pada bibirnya.
"Kembalilah ke tempat yang sudah ditentukan.
You copy?" Ada suara wanita dari gelang itu merespon.
"
I copy. Ayo." Dia menyeret Lucan tanpa mengindahkan gerutuan si Rothstein muda. "Ngapain kamu berjalan di gang kumuh seperti itu?"
"Ya, memang seharusnya saya tidak berada di situ. Siapa anda dan apa urusan anda dengan saya?" tanya Lucan sengit.
Si pemuda melepaskan Lucan begitu mereka sudah kembali berada di jalan besar. "Urusan Rothstein adalah juga urusan Odzwielg. Urusan Odzwielg adalah urusan saya. Dari mana Anda menyimpulkan saya tidak memiliki urusan apapun dengan Anda? Tidakkah Anda tahu siapa saya, Tuan Lucan Rothstein?" tanyanya dengan angkuh.
DEG. Pemuda ini tahu kalau dia seorang Lucan Rothstein. Dia mengerutkan dahi untuk berusaha terlihat mengintimidasi. "Ehem, baiklah. Kalau begitu apa yang anda inginkan dari seorang buangan Rothstein dari saya?"
"Saya hanya ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Anda. Tahukah Anda tentang Pris Gladami?"
"Saya sudah tahu tentang Pris Gladami dan semua tetek-bengek mereka. Dan kepentingan mereka untuk Odzwielg yang sok berkuasa," Lucan menambahkan dengan sinis.
"Berarti Anda sudah tahu tentang eon-eon terkorupsi dan apa tugas Pris Gladami sehubungan dengan itu. Dan juga akibatnya terhadap kondisi Anda."
Alis Lucan terangkat. "Kondisi saya?"
"Apakah Anda merasakan perubahan pada diri Anda? Kelelahan fisik atau keadaan psikologis yang janggal? Itu semua efek dari eon terkorupsi. Apalagi Anda melakukan kontak langsung dengan eon terkorupsi selama di Eldera." pria itu menjelaskan.
Eon terkorupsi... Berarti rasa tidak tenang dan selalu curiga yang dia rasakan sejak tadi adalah efek eon terkorupsi? "Lalu? Untuk apa Pris Gladami yang
begitu berkuasa di Arcen repot-repot mengawasi saya?"
Pria itu berdecak kesal. "Sudah saya katakan urusan Rothstein adalah urusan kami juga. Akan repot bagi Odzwielg jika terjadi sesuatu pada keluarga Rothstein... Bahkan untuk sampah mereka sekalipun."
Emosi Lucan langsung tersulut -- sudah lama tidak ada yang berani menyinggung statusnya di keluarga Rothstein. "Oh, baik sekali seekor
anjing Odzwielg mau merelakan waktunya untuk sampah seperti saya."
Ekspresi angkuh si pemuda mendadak berganti pada kata itu. Bibirnya melengkung ke senyuman -- yang lebih mirip seringai -- dan dia terkekeh. Tangannya menyisir rambut merahnya dengan gugup. Dia sudah kehilangan kemampuan untuk tetap berkepala dingin. "Oh, jadi begitu? Anjing Odzwielg? Beraninya kau..." Dia mengeluarkan sebuah staff kecil mirip keris berwarna perak.
Lucan, dengan senjata teracung ke wajahnya, mengeluarkan Sistostar dari udara hampa. Keduanya sudah siap saling melemparkan mantera, tidak peduli ada orang-orang yang menonton mereka, tidak peduli mereka sedang berada di negeri asing, tidak peduli akan peringatan yang telah disampaikan ke mereka.
"
Forvrængning--"
"
Volatile--"
Belum sempat menyelesaikan kata masing-masing, sudah ada suara
CKLIK dan ujung laras senjata api tertempel di kepala mereka.
"Ein, aku sudah memberitahumu untuk tetap tenang, bukan? Tuan Lucan, tolong turunkan senjata Anda." Seorang wanita -- satu orang lain yang digambar Ophelia -- berkata dengan tenang. Rambut pendeknya pirang dan bergelombang tertiup angin eon yang muncul dari pra-merapal mantera.
Kedua pemuda Odzwielg itu masih mempertahankan posisi masing-masing, siap meneruskan mantera.
"Dinginkan kepala kalian atau aku akan membuat seluruh tubuh kalian mendingin," wanita itu memperingatkan dalam suara lebih dalam. Sorot matanya sudah kehilangan kelembutan yang sempat ada. Ujung jari-jarinya semakin dalam menarik pelatuk pistol.
"...." Kedua senjata diturunkan, tapi tidak dengan rasa benci kepada satu sama lain.
"Fuuuh. Tidak kusangka akan seperti ini jadinya," ujar si wanita. Dia menyarungkan kembali kedua senjata apinya. "Ein, kamu akan mempertanggungjawabkan ini begitu kita kembali."
"Tapi aku---"
"Memang karena kamu," sambar Lucan. Ein sudah siap merangsek ke Lucan lagi, tapi kedua tangan si wanita -- yang ternyata bertenaga besar -- menarik dan melemparkan mereka ke arah berlawanan.
"Cukup. Cukup! Eindride, ingat kesepakatan kita. Tuan Lucan, saya minta agar Anda juga tenang."
Kedua pemuda itu mendengus sebal, masih bernafsu melampiaskan kekesalan masing-masing.
"Oh ya, saya belum memperkenalkan diri. En, pelayan keluarga Lovelace, juga anggota Pris Gladami." Wanita itu memberi salam kepada Lucan. "Ein, sudahkah kamu memperkenalkan diri? Di hadapanmu adalah anggota keluarga Rothstein. Bersikaplah yang pantas."
"...Eindride Hanstveit." Pemuda berambut merah itu menyebutkan namanya dengan enggan.
En mengangguk puas. "Karena kalian berdua sudah siap duduk bersama... Mengapa kita tidak mencari tempat untuk berbincang?"
"Apa lagi yang kalian mau bicarakan? Tentang eon terkorupsi? Tentang Pris Gladami yang terhormat? Aku sudah tahu tentang mereka. Selengkap-lengkapnya sampai aku mati bosan jika kalian senandungkan lagi soal itu."
"Kedua, aku bukan anak kecil lagi! AKu tidak mau diawasi terus-menerus, apalagi oleh militer Odzwielg!" Lucan melempar pandangan menghina ke Ein.
"Saya tahu anda tidak suka diawasi gerak-geriknya. Tidak akan ada yang suka. Tetapi ada hal yang lebih penting dari itu... seperti di mana Anda akan berpihak," kata En.
Hening. "Di mana saya akan berpihak?" Lucan tersenyum menyindir. "Apa pedulinya Odzwielg yang terhormat pada keberpihakan seorang -- seorang buangan Rothstein seperti saya?"
"Segalanya. Sekarang, mari kita berbicara di tempat yang jauh dari telinga-telinga usil." Tangan En terayun ke arah sebuah kafe -- yang tadi dikunjunginya bersama Sebastian. "Kami juga harus menetralisir efek eon terkorupsi pada tubuh Anda."
Lucan hendak menolak, tetapi paranoia itu kembali muncul. Kakinya mulai gemetar, ada rasa takut kalau dia akan terhisap oleh bumi-- "Baiklah. Tapi yang cepat."
"Jangan khawatir. Sudah menjadi tugas Pris Gladami untuk mengatasi semuanya dengan cepat dan tepat."