exile_kid: (Default)
2015-12-25 09:45 pm

[FIC] [Lunel Chronica] Drabbles pt. 2

Can I Stay The Night?

Who: Eclair+Lucan
What: Twitter writing challenge, "Can I Stay The Night?"

Lucan muncul di ambang pintu kamar Eclair sambil memeluk bantal, rambutnya menandakan dia baru bangun tidur. Yang membuat Eclair menaikkan alis adalah mata Lucan yang merah dan sembab.
 
“Ada apa, Lucan?” tanya Eclair, memberikan senyumnya yang biasa.
 
Jari-jari Lucan bergerak gelisah, matanya tidak membalas tatapan Eclair. Dia melihat ke sekeliling kamar Eclair yang hanya diterangi lampu meja di sebelah tempat tidur Eclair. “...boleh aku tidur di sini malam ini?” tanya Lucan parau, diikuti suara tersedu.
 
Ah, dia mimpi buruk lagi. Eclair tidak menyuarakan kesimpulannya, tahu kalau Lucan pasti langsung bertindak defensif dan pergi. Dia menutup buku yang sedang dibaca dan menaruhnya di atas paha. Eclair bergeser ke pinggir tempat tidur, menyisakan sedikit ruang untuk Lucan. Dia menepuk pelan ruang kosong di kasurnya sebagai ajakan masuk. “Maaf kalau agak sempit.”
 
Lucan hanya menggumamkan “hmm” saat menghampiri Eclair. Dia duduk memunggungi Eclair selama beberapa lama sebelum berbaring miring. Eclair menatap punggung Lucan, yang tampak lembab karena keringat, sebelum kembali meneruskan membaca buku.
 
“...maaf,” kata Lucan lirih.
“Tak mengapa. Lucan tidur saja,” kata Eclair pelan sambil menyisiri rambut Lucan dengan jari-jarinya. Eclair merasakan Lucan tersentak kecil saat tangannya menyentuh Lucan, tapi Lucan tetap diam dan membiarkan Eclair mengusap kepalanya.
 
Eclair tersenyum kecil saat dia mendengar irama nafas Lucan terdengar lebih tenang, menandakan si pemuda Odzwielg sudah kembali tertidur.
 
 


Melophia Underground
Who: Peter, Eclair, Ayam, Luise, Klein
What: Twitter challenge, Peter+Eclair, ""Together, we can do anything"

Bulu putih Ayam dan rambut pucat Luise bergemerisik setiap kali pipa-pipa saluran pembuangan di sekeliling mereka meniupkan uap putih pekat. Diikuti Klein dan Eclair dari belakang, mereka berjalan dengan waspada, mencari target mereka di antara puluhan mesin industri yang kusam. Klein berulang kali membetulkan posisi syalnya, melindungi diri dari bau-bau kimia sintesis yang memenuhi pabrik bawah tanah itu.
 
 
“Detektif,” Luise memanggil si unggas di dalam pelukannya, matanya menatap berkeliling, “mungkin dia sudah kabu--” 
 
“Kweeeek!” Ayam berteriak saat ada sesosok putih berkelebatan. Sayap Ayam berkelepak kencang, menunjuk ke arah sosok itu. Kawanan manusianya mengangguk dan langsung berlari. Buruan mereka bergerak lincah, berpindah dari balik satu mesin besar ke balik mesin lainnya. 
 
“Tidak bisakah kalian berhenti mengejarku? Sudah beberapa bulan ini aku harus terus berpindah tempat, capek banget,” Peter Sommers berteriak kepada Ayam dan kawanannya sambil berlari.
 
“Makanya berhenti lari, dong!” Luise balas berteriak, nafasnya terengah-engah.
 
Pengejaran mereka berhenti di sebuah ruangan besar. Cahaya matahari masuk dari jendela di langit-langit yang kacanya kekuningan, menyinari lantai semen dan bertumpuk-tumpuk kotak kayu yang berserakan. 
 
“Kwek! Kwek kwek kwek!” Ayam melompat turun dari tangan Luise, berjalan menghampiri Peter. “Kweeek kwek wek!”
 
Semuanya berhenti di sini, Peter Sommers,” Klein ikut maju, menerjemahkan perkataan Ayam untuk Peter yang dahinya sudah mengernyit bingung. 
 
Peter tersenyum kecil. “Untuk seekor bebe-- ay-- bebek dan dua anak kecil, kalian hebat juga, bisa melacak usaha Sampo Kuda oplosanku sampai sejauh ini.”
 
“Kwek kwek kweeek!”
 
“ ‘Beraninya kamu membawa Arlen ke dalam dunia ini’,” kata Klein.
 
Peter menatap kelompok di depannya, lalu meledak tertawa. 
 
“A-apa yang lucu?” Luise memandang Peter dengan waspada.
 
“ ‘Membawa’... Ah, kalian polos banget,” Peter berkata di tengah-tengah tawanya.
 
“Kwek?”
 
Peter duduk di salah satu kotak kayu, mengambil nafas sebeleum melanjutkan, “Yang ada Arlen yang membawa kami ke dalam usaha ini.” Dia menyeringai melihat kekagetan di wajah Klein dan Luise. “Iya. Semuanya ini ide Arlen. Kami sih hanya ikutan saja.”
 
Suara ‘ceklik’ terdengar. Eclair sudah mengacungkan revolvernya ke arah Peter. 
 
“Sudah cukup sampai situ.” Suara Eclair pelan, dengan bibit amarah yang tidak pernah teman-temannya dengar sebelum ini. 
 
“Tidak, aku mau dengar lebih lanjut. Siapa ‘kami’ yang kau maksu-” Klein maju menghampiri Peter.
 
Suara letusan senjata menusuk telinga Ayam dan Luise, diikuti Klein yang jatuh terjerembab ke lantai keras. Luise butuh beberapa detik untuk mengolah pemandangan di depannya sebelum dia menjerit. Dia berlari dan berlutut di samping Klein, tangannya bergerak panik berusaha menahan kucuran darah di punggung Klein.
 
Eclair menurunkan revolver, meniup asap putih yang keluar dari ujung laras. “Jangan bicara lebih dari yang diperlukan, Peter. Aku sudah cukup repot menutup jejak kerjaanmu setelah Arlen tewas,” suara dingin Eclair memperingatkan, “aku membawa mereka kemari hanya untuk dibereskan.”
 
“Makanya aku menyarankan dirimu pada Arlen. Kamu lebih pintar soal begini.” Peter mengedikkan kepala santai kepada Luise, yang menahan darah mengucur dari punggung Klein dengn tangannya. “Kalau bersama, kita bisa melakukan apapun.”
 
Ayam bergantian memandang Klein dan Eclair, marah sekaligus panik, sayapnya berkelepak kencang. “Kwek! Kwek kwek?!”
 
Eclair menghela nafas. “Maaf, ya, Ayam. Tadinya aku mau langsung membereskan kalian, tapi aku perlu bernegosiasi dengan keluarga Lovelace dulu,” Eclair menjelaskan dengan enteng sambil mengisi peluru.  “Aku tidak mau kehilangan sponsor karena membunuh calon penerus keluarga mereka. Tapi ya sudahlah, kami juga punya banyak sponsor lain.”
 
Eclair mengarahkan senjatanya ke Ayam. Bulu-bulu Ayam bergidik melihat senyum yang tidak mencapai mata  itu. “Kalau mau marah, marahlah kepada Arlen di dunia sana.”





Deadline, Deadline

Who: Anju+Ma Ri
What: Twitter writing challenge, "What would I do without you?"

Orang pertama yang Anju temui saat berjalan menuju ruang kerja Ma-Ri adalah Eclair. Saat Anju memberitahu si pemuda berkacamata kalau dia hendak mengunjungi Ma-Ri, Eclair tampak canggung. “Sepertinya Ma-Ri sedang tidak bisa menerima tamu... Ah, tapi kalau Anju, mungkin tidak masalah,” kata Eclair.
 
Anju memiringkan kepala bingung. “Eh? Memangnya kenapa dengan Kak Ma-Ri?”
 
“Ehm... Sebaiknya Anju lihat sendiri, deh,” Eclair tertawa kecil, menepuk pundak Anju. Anju, masih bingung dengan jawaban Eclair, pergi meninggalkan Eclair setelah mengucapkan permisi. 
 
Saat berdiri di depan pintu ruang kerja Ma-Ri, Anju kembali teringat kata-kata Eclair. Dengan takut Anju mengetuk pintu dengan pelan.

Tidak ada jawaban.

Anju mengetuk lagi, kini lebih keras.

Dia melompat mundur, kaget, saat mendengar Ma-Ri berteriak dari dalam.
 
“Ahhhh! Siapa sih, sudah kubilang aku lagi sibuk!” Terdengar suara langkah kaki menghentak keras, terdengar makin jelas mendekati pintu. Anju nyaris menjatuhkan bungkusan di tangannya saat pintu dibuka kasar, wajah kusut dan galak Ma-Ri menyambutnya. 
 
“Kembali besok saj-- Lho, Anju.” Suara serak Ma-Ri mendadak melembut begitu melihat wajah Anju.
 
Anju, tidak tahu harus merespon apa, mengangkat pelan bungkusan di tangannya ke Ma-Ri. “Kue...”
 
“Oh... Thanks.” Ma-Ri tersenyum -- senyum yang jelas-jelas dipaksa. Otot pipinya yang kaku membuat Mari lebih mirip sedang meringis.
 
“Kak Ma-Ri sedang sibuk?” Anju berjinjit, berusaha mengintip melewati pundak Ma-Ri ke dalam ruangan. Ma-Ri buru-buru menghadang Anju.
 
“I-i-iyyyaaaaa! Begitulaaah,” kata Ma-Ri panik. “Makasih kuenya! Anju sekarang pergi saja---”
 
“Kapan terakhir kali Kak Ma-Ri keluar?” Anju menatap Ma-Ri dengan curiga.
 
“Uhm...”
 
“Sekarang hari apa, coba?”
 
Muka Ma-Ri berkerut, berpikir keras selama beberapa detik sebelum dia mendesah panjang. Anju melotot, mendorong Ma-Ri masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi di dalam.
 
Tumpukan kertas di mana-mana. Sebagian besar buku-buku di lemari sudah berpindah ke lantai. Anju melihat beberapa gelas berisi ampas kopi yang sudah mengeras di dasarnya tersebar di berbagai permukaan, dan tong sampah di pojok ruangan penuh dengan bungkusan roti berbagai rasa. Di meja sendiri ada sepotong roti isi kacang merah yang baru dimakan setengah.
 
“Kak Ma-Ri!” Anju setengah menjerit.
 
Ma-Ri refleks ikut berteriak. “Ya?!” 
 
“Ini sama sekali tidak sehat!” Anju buru-buru memindahkan gelas-gelas kotor ke meja, berjalan melewati kertas-kertas. “Buka gordennya!”
 
Ma-Ri menggerutu. “Kalau dibuka jadi terlalu terang, aku tidak bisa tidur...”
 
“Memang Kak Ma-Ri sudah pernah tidur selama beberapa hari ini?” Anju mengambil tali tasuki dari dalam tas kecilnya untuk menggulung lengan kimononya. Dengan mulut menggigit tali tasuki, Anju mengangguk ke arah jendela, memerintahkan Ma-Ri untuk membuka gorden. 
 
Ma-Ri melemparkan kepalanya ke belakang saat sinar matahari menerpa wajahnya, matanya tertutup rapat. “Uh, terang banget.”
 
“Ini sudah jam lima sore,” kata Anju, suaranya tajam kehilangan kelembutan yang biasa. Dia berjongkok, tangannya mulai bekerja pada lembaran kertas yang tersebar tanpa arah di lantai. “Kita rapikan dulu kertas-kertas ini sebelum Kak Ma-Ri pergi mandi.”
 
“Eh, jangan diacak-acak...” Ma-Ri hendak menghentikan Anju, tapi tangannya langsung ditepis oleh Anju.
 
“Rapikan dulu supaya lebih gampang dikerjakan. Dan tidak boleh minum kopi lagi!” Anju menambahkan saat tangan Ma-Ri meraih kaleng bubuk kopi instan.
 
Butuh waktu dua jam untuk menyusun kertas-kertas ke dalam tumpukan yang lebih enak dilihat -- tingginya dua kali ukuran Ayam. Butuh waktu lebih lama untuk memeriksa laporan karangan Ma-Ri, tapi dengan bantuan Anju pekerjaan Ma-Ri kini terasa lebih ringan.
 
***
 
“Nah, yang ini hanya perlu dirapikan paragrafnya...” Anju bergumam sambil mengigit kue donat goreng yang dibawanya barusan. Dia menaruh kertasnya ke dalam salah satu tumpukan.
 
Senyum Ma-Ri mulai tampak lebih natural, sekarang mood-nya mulai membaik karena pekerjaannya berjalan lebih lancar. Tumpukan pekerjaan yang belum selesai makin memendek. “Yeee, sedikit lagi! Mungkin bisa selesai jam tiga pagi...”
 
Anju mendelik. “Tidak boleh begadang,” katanya singkat.
 
“Eehhh?! Tapi tinggal sedikit lagi!” Ma-Ri rebah ke atas meja. 
 
“Ayo mandi sekarang, nanti Kak Ma-Ri ketiduran.” Anju mendorong pundak Ma-Ri.
 
“Malas gerak...” Ma-Ri bangun ogah-ogahan.
 
“Mandiiii!” Anju mendorong Ma-Ri lebih kencang, sampai akhirnya Ma-Ri bangkit berdiri dengan lunglai. 
 
“Oke, okeeeee.” Ma-Ri membentangkan lengannya lebar-lebar, ngulet dengan nikmat. “Ah, bisa apa aku tanpa kamu, ya.”
 
Anju menengadah ke Ma-Ri. “Apa?”
 
“Bukan apa-apa. Sudah ya, aku mandi dulu. ” Ma-Ri nyengir, meninggalkan Anju yang penasaran untuk pergi ke kamar pemandian umum.




These Aren't Hickeys!

Who: Lucan+Eclair
What: From LC Awards most wanted scene, "adegan ambigu Eclair dan Lucan"

“Sakit, Lucan?” Éclair bertanya lembut. Dia tanpa sadar tersenyum, ingin membuat Lucan merasa lebih baik, meski si penyihir es itu tidak bisa melihat ekspresi Eclair dengan posisi punggung menghadap Eclair. 
 
“Y-Ya iyalah,” kata Lucan ketus. Suaranya masih serak karena dari tadi mengaduh kesakitan.
 
Éclair tertawa kecil. Dia menjauhnya tangannya dari punggung Lucan. “Kalau baru pertama kali memang sakit, sih. Apa kamu mau berhenti saja di sini?”
 
Lucan sudah hendak mengangguk. Namun begitu merasakan kehangatan di bagian tubuh bawahnya mulai memudar, Lucan menggigit bibir bawahnya. “…kalau cuma sakit segini, sih, tidak masalah,” katanya gengsi. “Tapi karena ini pertama kalinya buatku, bisa lebih pelan sedikit?”
 
“Kucoba, ya. Aku sendiri susah menahan tenaga kalau sudah begini.” Éclair kembali mengoleskan cairan hangat ke tubuh Lucan. Gesekan pertama tidak terlalu sakit, tapi makin lama makin terasa sakit. Lucan menggenggam sarungnya erat-erat, menahan agar rasa sakit tidak terlontar dari bibirnya. 
 
“Éclair… tolong… lebih pelan… sedikit…”
 
Anju menghela nafas. “Tuan Lucan, kerokan ya memang harus kencang. Kalau terlalu pelan nanti lama merahnya.”
exile_kid: (Default)
2013-02-27 05:37 pm

[FIC] [Lunel Chronica] Drabbles... sorta.

Summer Sunshine
Who: Ophelia and Zav
Disclaimer: characters are Mike's and Vai's.





If Only I Had...
Who: Arlen/Ayam




Puella Magi Citie Magica
What: Parody of MadoMagi.
Who: Lucan/Citie.




Learning by Reading


Who: Arlen, Val, dan Peter
What: Val menggalau karena Arlen. Peter lalu datang dengan Shonen MAGZ. Ini juga snap preview buat chapter LC Novelization mendatang.

Read more... )

[Untitled]
Who: Klein, Luise, dan Fester
What: LC Award 'Scene You Want To See', [orang-orang Odzwielg menikmati musim semi pertama setelah sekian lama].

Read more... )


[Waffle Emergency]
Who: Eindride, Adry
What: Waffle emergency!

Read more... )

Two Lights
Who: Anju, Ma Ri, Ein, Lucan
What: LC Awards Scene You Want to See, [Anju memberanikan diri untuk terjun ke medan pertempuran untuk menolong Ma-Ri]
Note: Title is inspired by my favorite Five For Fighting's song

Darah selalu membuat Anju merasa bersalah. )

exile_kid: (Default)
2012-09-30 10:32 pm
Entry tags:

[Unfinished] Prologue: Someone Else's Story

------

Orang-orang mengatakan kalau dunia ini jahat.

Mereka benar.

Orang lain mengatakan kalau dunia ini baik.

Mereka juga benar.

Tapi tidak ada yang mengatakan kalau dunia ini sangat besar.

Mungkin karena itu mereka membalikkan punggung dengan cepat, tidak ingin membuang waktu dengan perpisahan.

Dari kaca jendela kapal, kulihat mereka tetap tersenyum dan memandang ke depan. Tidak ada sisa-sisa bayangan diriku yang kecil di mata mereka.

Aku hanya bisa menatap punggung mereka dengan sedih. Sudah rindu menjadi bagian dari lingkaran kecil mereka yang selalu antusias. Apakah ada orang lain yang menggantikan diriku di saat mereka saling berbagi cerita di depan perapian? 

------

exile_kid: (Default)
2012-03-11 07:28 pm

[Lunel Chronica] [FIC] Anime Song Prompts

Title: Ichiban no Takaramono (Angel Beats!)
Who: Lucan, Klein, Luise, a little of Eclair and Citie.
What: Spoiler future plot from the respective mun with my own twist.

"Kau bercanda, Lucan."

"Aku tidak pernah bercanda."

Klein berusaha menelan semua pernyataan Lucan barusan. Kata-kata dari mulut Lucan masih beterbangan di sekitar kepala Klein, membantunya mencerna. "Kau sudah tahu apa yang dilakukan Odzwielg selama ini."

"Odzwielg dan keluargaku, ya." Suara Lucan tenang, jauh lebih tenang dari biasanya, tetapi matanya tidak berhenti menghindari tatapan Klein. Mencegah Klein mencari celah masuk ke dalam pertahanannya. 

"Kalau begitu untuk apa Lucan kembali ke Odzwielg?!" tanya Luise, suaranya tercekat. "Kau... Kau tahu apa yang mereka lakukan kepada Hanstveit! Kepada banyak orang lainnya!"

"Sebagai penduduk Odzwielg, kau tahu kan kalau mereka melakukan ini untuk bertahan hidup?" Lucan memandang Luise. "Seekor singa akan membunuh kawanan kijang untuk menghidupi anak-anaknya. Apa yang salah dari ini?"

"Bertahan hidup dari kesengsaraan orang lain? Lucan, yang Odzwielg lakukan bukan lagi untuk bertahan hidup. Mereka lebih mirip hewan yang membabi buta."

"Hewan pun tidak akan membabi buta kalau tidak ada penyebabnya. Tidakkah kau lihat penderitaan orang-orang Odzwielg? Hidup bertahun-tahun di bawah musim dingin, tanpa pangan yang memadai. Kau yang selama ini hidup dalam kenyamanan keluarga Lovelace tidak akan mengerti---"

"Jangan bicara seolah kau sendiri mengerti."

Untuk pertama kalinya, Lucan dan Klein mendengar kegusaran dari Luise. Bibir Luise bergetar saat dia berbicara.

"Kau sendiri dari keluarga Rothstein! Hanya karena kau-- hanya karena kau terbuang, bukan berarti kau telah merasakan penderitaan mereka!" 

Lucan biasanya akan mengamuk pada satu kata itu, tetapi kalimat Luise yang tepat sasaran sudah keburu meremuk redam amarahnya.  

"Kau tidak melakukan ini demi Odzwielg, Lucan." Klein melangkah maju, berusaha menangkap tatapan mata Lucan. "Apakah para Pris Gladami memaksamu lagi? Seperti En waktu itu?"

Benar, dia tidak melakukan ini demi kejayaan Odzwielg.

Lucan menarik nafas. "Mereka tidak memaksaku."

Benar, dia memang tidak merasakan penderitaan orang-orang Odzwielg, yang hidup tanpa musim semi.

"Lalu kenapa...?"

"Karena kalian," kata Lucan.

Klein dan Luise bertukar pandang keheranan. "Apa yang kami...?"

"Bukan hanya kalian. Juga si Eclair. Citie. Dan yang lain," kata Lucan.

"Aku tidak mengerti," kata Klein.

"Tidak perlu mengerti. Sekarang biarkan aku pergi." Lucan berjalan melewati Klein dan Luise, meninggalkan keduanya terpaku dalam ruang dan waktu.

***

Lucan tidak mengerti rasa lapar dan dingin yang membuatnya putus asa.

Dia tidak mengerti penderitaan selain rasa terbuang.

Dia tidak mengerti rasa putus asa dan marah membara seperti Odzwielg.

Namun dia mengerti kasih, yang lebih hangat daripada teh merah, yang dituangkan oleh teman-temannya. Rasa itu hanya ada sebentar; seperti rasa senang setelah mengikuti festival, tetapi ada. Ada. Dia ingin menghargainya sepanjang waktu, meski dengan caranya sendiri.




Title: Innocent Blue (Star Driver)
Who: Anju Tominaga


Musim semi itu hangat dan lembut. Tidak dingin. Penuh warna. Berjalan di dalam musim semi membuatmu terbuai dalam kenyamanan yang ceria. Seperti Tuan Eclair dan Nona Citie.

Musim panas itu terik. Menyengat. Hitam dan putih begitu terpisah. Seringkali cahaya tidak masuk sampai bagian terdalam gedung. Memanggil-manggil yang di dalam untuk bermain di luar. Seperti Kak Ma-Ri dan Xing Long. 

Musim gugur mulai sejuk. Waktunya menikmati makanan enak dan buku bagus. Daun-daun mulai berguguran, menari ditiup angin. Warna merah mulai menari-nari di udara dengan cantik. Seperti Nona Felicia dan Nona Luise.

Musim dingin menusuk kulit.  Orang-orang lebih memilih untuk diam di rumah. Di balik udara yang dingin, ada matahari yang bersinar remang nan lembut. Seperti Tuan Klein dan Tuan Lucan.




exile_kid: (Default)
2012-01-18 05:43 pm

Chapter 2.2 sneak preview

L'Esterspelle was still the same in Lucan's eyes: an artful nation with beautiful scenery. His mother had took him to this paradise of Arcen several time because his father 'worked' here. Little Lucan loved this place. All kind of festivals were held all year long, celebrating every little things. He always waited for the next visit eagerly, even it meant he must see his father every time. Lucan remembered he rid ferris wheel repeatedly while he was munching on his favourite snacks.

Even Auillevich, the gate city where Helwina Station located at, was always decorated to bid interest from the visitors. The city felt different today, though. Lucan was not as excited as he used to be. Perhaps he was already 15 years old then, thus forgetting the little happiness he got from this place. Or was it because the city looked gloomier than he ever remembered?

"Oh, Sir Rothstein! Welcome! And welcome to you, too, Young Master Rothstein." The receptionist from their client welcomed them. His voice was less enthusiast when he was greeting Lucan. "You look tired. Do you want to take a rest before going to Vi Aletti?"

"Thank you, but no," said Uncle Maximillian.


---

 "This is the only chance to go," Lucan told himself, spying at Stefano and Sebastian outside. He waited for awhile before sneaking through the cafe back door and arriving at another side of Vi Aletti. He had never thought that even the beautiful city had a slum area. He suddenly felt guilty for leaving Sebastian who had been helping him, but he could take care of himself from now on.

He was walking down the alley when a homeless man whistled at him. "Hello there, missy~ Whatcha doin', alone here?"

Lucan threw a disgusted look at the homeless -- his smell was unbearable. He wanted to snap at the bum, but he was too tired for that. Besides, the homeless looked as if he wasn't right in the mind with those empty eyes. "Go away," Lucan said weakly.

"Oh, don't be like that! It's dangerous down here, let me accompany you. Ehehe~" The bum pulled Lucan's sleeve and was about to embrace him.

"What are you---"

"This missy is with me." Another hand pulled Lucan, rather roughly, away from the bum. Lucan's heart almost stopped -- that pompous-looking young man from Ophelia's sketch. The homeless backed away from them, seemingly intimidated by the young man's presence. 

"En. I've found him." The young man spoke to a bracelet on his wrist. 

"Return to the designated place. You copy?" A woman's voice responded.

"I copy. Let's go." The young man dragged Lucan away, ignoring the young Rothstein's grumbles. "What were you doing at such place?"

"Yes, yes, I know I should haven't been there. Who are you and what is your business with me?" asked Lucan bitterly.

The young man let Lucan go as they arrived at the main road. "Rothstein's business is Odzwielg's. And Odzwielg business is my business. Why did you conclude that I have no business with you? Do you know who I am, Sir Lucan Rothstein?" he asked arrogantly.

THUMP. This young man knew he was a Rothstein. Lucan frowned in attempt to look intimidating. "Very well. What do you want from a Rothstein exile like me?" 

"I am tasked to supervise your actions. Do you know Pris Gladami?"

"I know Pris Gladami and its taradiddle. And their interest concerning the mighty Odzwielg." Lucan added cynically.

"Then I assume you have known of Pris Gladami's task on corrupted eon. And its effect on your condition."

"My condition?"

"Are you feeling anything strange? Inexplicable fatigue or psychological change? Corrupted eon cause those. Moreover you got in direct contact with corrupted eons in Eldera," explained the young man.

Corrupted eons... So the discomfort and fear he had been feeling were caused by corrupted eons. "So? What concern does the important Pris Gladami have with me?"

"Tsk. I've told you that Rothstein's business is also our business. It will be bad if something happens on one of the Rothsteins... even if it's one of their garbage."

Lucan's anger was ignited. Nobody had called him that for ages. "How kind of a dog of Pris Gladami worrying this garbage."

The young man lost his usual arrogant face. His lips curved to a smirk, and then he chuckled. His fingers combed through his redish hair. Shaking, he had lost his temper. "Oh? Is that so? A dog? Very well... How dare you...!" He pulled out a silver, kris-like small staff out of somewhere. Lucan, with a weapon pointed at his face, summoned his Sistostar.

Both were ready to exchange spells; not caring there were people watching, not caring they were in another nation, not caring about given forewarning.

"Forvrængning--"

"Volatile--"

Before they could finished their spell, they heard a loud CLICK and felt a muzzle on their temple.

"Ein, I've told you not to act on your own. Sir Lucan, please take your weapon away." A woman, another person in Ophelia's sketch, were pointing her handguns at the young mages. Her short, wavy blonde hair was blown by the eon-wind from spellcasting effect.

The Odzwielg boys ignored her and were about to continue their spell.

"Cool your head. Or I will cool your entire body," the woman warned. She pressed the trigger deeper. Her eyes had lost their tenderness.

"..." The boys lowered the, but not their hatred to each other.

"I didn't expect it would turn out like this," said the woman, sheathing her firearms. "Ein, you will be taken into account when we get back."

"But it wasn't my---"

"It's your fault," said Lucan. Ein was ready to strike Lucan again, but the woman held them away from each other.

"Enough. Enough! Ein, remember our agreement. Sir Lucan, I implore you to keep calm."

Lucan and Ein snorted indignantly, still wanting to release their fury on each other.

"Allow me to introduce myself, Sir Lucan. I am En, Lovelace family's maid and a Pris Gladamian." The woman bowed. "Ein, have you introduced yourself properly? We are facing a member of Rothsteins. Be polite."

"...Eindride Hanstveit," the young man said grudgingly.

En nodded with satisfaction. "Now that both of you are ready to sit together... Why don't we look for a place to converse?"

"What are you going to talk about? Corrupted eons? Pris Gladami and its authority? First, I have had enough that I will fall asleep if I hear any more of them. Second, I am not a child anymore! I don't want to be watched by anyone anymore, especially by you Odzwielg military!"

"I understand your uneasiness. Nobody likes to be watched all the time. We are going to speak about something more important... Like what side you will choose."

Silence.

"My side?" Lucan smiled sarcastically. "What does my choice -- an exiled Rothstein -- have to do with anything?"

"Everything. Let's talk somewhere free from prying ears." Ein waved to a cafe which Stefano and Sebastian were supposed to be at. "We also must neutralize the eon effect off of you."

Lucan wanted to refuse, but he felt that paranoia again. Earth below him was ready to catch his trembling legs, into the darkness--- "Very well, but be fast."

"Worry not. Pris Gladami always gets things done fast and precisely."


exile_kid: (Slash fiction? Slash fiction!)
2012-01-16 11:01 pm

[Draft] [Fic] [Lunel Chronica] Chapter 3.1

Odwielg Empire.

Sejak kehilangan kejayaannya sejak Lunel Eclipse, Odzwielg -- dalam kemarahan pada Dewi Lunel -- bersumpah kalau mereka akan kembali seperti sediakala. Mereka memanfaatkan dan melakukan semua hal yang bisa mereka lakukan. Mengambil eon dari negara lain. Memanipulasinya. Memburu para penganut Clausism -- apapun.

Keluarga Rothstein adalah keluarga terpandang di Odzwielg. Tsar seringkali  menurunkan perintah kepada keluarga yang terkenal akan kemampuan sihirnya ini untuk melakukan berbagai tugas mulia -- sebuah prestasi yang hebat, mengingat kini Odzwielg sangat mengagungkan teknologi. Dengan sebuah nama yang besar, datanglah beban yang besar. Lucan merasakan ini sejak kecil. Dia tidak menampakkan bakat alamiah sebagai seorang mage. Dia tidak memiliki apa yang dibutuhkan seorang Rothstein -- kemampuan sihirnya terbatas dan fisiknya lemah. 

Cemooh dari anggota keluarga yang lebih tua masih terngiang-ngiang di telinganya. Ledekan dari Karen kakaknya tidak akan pernah dia lupakan. 

Dan wajah kecewa ayahnya.

Terbuang adalah kata yang kasar, tetapi itu yang Lucan rasakan. Tidak ada ucapan perpisahan sedikitpun saat Kirill Rothstein mengirimkan Lucan kecil kepada Paman Maximillian untuk dilatih menjadi seorang mage yang memenuhi standar keluarga Rothstein.

Karena itulah sampai sekarang dia masih bersama sang paman. Dia menolak tinggal bersama orangtua yang tidak menerima anak sendiri apa adanya. 

Bagaimana lagi dia harus mengonfrontasi ayahnya?

Karena itu untuk apa dua orang Pris Gladami mau merepotkan diri menemui buangan Rothstein sepertinya? Lucan mengaduk-aduk gula dalam tehnya dengan tidak sabaran, meminta penjelasan dari En dan Eindride. 

"Tuan Lucan sudah mengetahui seluk-beluk Odzwielg dan usahanya mengontrol eon, bukan? Sesuatu yang sangat khas Odzwielg. Nah, ini," En mengeluarkan sebuah kotak kecil sederhana dari saku mantel dan menyerahkannya ke Lucan, "adalah obat untuk mengatasi efek samping eon bagi tubuh. Hasil dari teknologi Odzwielg. Ini adalah hak anda sekarang. Silakan anda minum."

Lucan mengantongi pemberian dari En, tidak hendak menggunakannya sekarang. "Lalu?"

En tersenyum kecut dengan perilaku Lucan. "Kami meminta Tuan Lucan untuk bergabung dengan Pris Gladami. Keputusan akhir ada di tangan Tuan Lucan, tetapi ingat: keselamatan Anda akan kami jamin. Anda juga akan memiliki akses ke berbagai tempat -- bukankah itu tawaran yang bagus?"

"Itu memang tawaran yang bagus. Namun saya tidak yakin ayah ataupun kakak saya akan bersedia menerima saya dalam Pris Gladami. Lagipula, apakah perbedaan yang bisa saya buat dengan kehadiran saya di antara kalian?"

"Kalau tidak mau katakan saja tidak," kata Ein.

En menyodok rusuk Ein, menyuruhnya tutup mulut. "Anda tidak perlu memberikan jawaban sekarang. Silakan pikirkan matang-matang. Namun," En tersenyum licik, "jika jawaban anda tidak, jangan melibatkan diri lebih jauh ke dalam masalah ini. Menentang - atau bahkan hanya menyelidiki - proyek ini akan berakibat fatal bagi Anda."

Seringai si pelayan bersenjata itu mengunci bibir Lucan. En meraih tangan Lucan dan menggenggamnya dengan erat. "Satu hal lagi, kalau saya boleh kurang ajar. Mengutip kata komandan saya dulu: anak kecil seperti anda diam dan menurut saja."

"Tidak boleh ada yang memanggil saya anak kecil. Tidak terkecuali Anda," kata Lucan berani. 

"Huh. Sok," komentar Ein. Kali ini En tidak menegur Eindride. Dia hanya tersenyum kecut.

Lalu bel pintu kafe berbunyi, memecahkan keheningan di antara mereka. Suara yang memanggil Lucan kemudian membuat Lucan kaget. 

"Lucan! Ke mana saja kau tadi?!" 

Lucan lupa kalau ada Sebastian dan Stefano. Mereka grasak-grusuk memasuki kafe dengan tampang cemas dan jengkel.  Namun ekspresi Stefano langsung berubah begitu melihat kedua Pris Gladamian di seberang Lucan. Tangannya merayap ke sarung pistol di pinggang.

"Tunggu---" Lucan mengangkat tangan, hendak mencegah Stefano. Lalu En juga memasukkan tangan ke dalam mantelnya. "Tunggu!"

En melemparkan beberapa keping uang ke meja. "Sepertinya sampai sini saja dulu. Kami ijin undur diri," kata En, suaranya kembali melembut. Dengan senyum yang sama dia memberi salam kepada Stefano, yang dibalas dengan wajah memberengut. 

"Ada apa ini? Kenapa keluargamu pergi...?" Sebastian memperhatikan En dan Eindride meninggalkan tempat itu.

Stefano melemparkan sketsa wajah En dan Eindride ke meja.  "Dua orang tadi bukan keluargamu, kan? Tapi Pris Gladami."   

Lucan mendongak. Bagaimana orang lain bisa tahu tentang Pris Gladami? "Apa urusanmu?"

"Aku sedang menginvestigasi Pris Gladami dan hubungan mereka dengan alterasi eon-eon di Arcen," Stefano berbicara blak-blakan. "Sepertinya kau bukan orang Odzwielg biasa, Dik. Siapa kamu sebenarnya?"

"Bukan urusanmu. Jangan coba-coba menyelidik lebih jauh kalau tidak ingin mereka menyakitimu," kata Lucan ketus.

"Pura-pura tidak tahu ya," kata Stefano menantang. "Baiklah. Tapi aku tidak akan berhenti sampai sini saja. Aku juga punya urusan yang harus kuselesaikan berhubungan dengan ini."

"Tunggu. Apa sih yang kalian bicarakan? Pris Gladami? Eon?" Sebastian berusaha menangkap ini semua. 

"Lebih baik kau jangan ikut campur juga," kata Lucan dan Stefano berbarengan.

Sebastian melipat lengan dengan sebal. "Oh, baiklah! Setelah semua yang kulakukan hari ini. Kalau begitu aku pulang saja. Lebih baik latihan sulap kartu untuk besok." Dengan dagu terangkat Sebastian meninggalkan mereka. 

Stefano tetap tinggal, bertukar pandang dengan Lucan sebelum akhirnya dia ikut keluar dari kafe. "Baiklah, aku juga akan pergi. Tapi ingatlah, Lucan, aku tidak akan menyerah."

Sepeninggal keduanya, Lucan membuka kotak obat pemberian En. Ada dua butir kapsul. Dia menelan satu -- benar saja, perasaannya jadi lebih ringan dan bebas sekarang.  
 
Lucan merosot di kursinya. Melelahkan sekali. Kemarin monster -- dan sekarang Pris Gladami. Semua terjadi begitu cepat.  Sama seperti Stefano, dia tidak akan berhenti sampai sini saja. En dan Eindride malah mendorongnya untuk tahu lebih banyak tentang Pris Gladami -- kalau mereka memang berniat merekrutnya, tidak salah kan kalau dia ingin mencari tahu lebih banyak? 

***

Atau begitulah niat Lucan. Selama beberapa hari ke depan dia terpaksa berdiam di mansion tempat menginap, hanya keluar untuk menemani pamannya mengunjungi klien-kliennya.

Pris Gladami telah membisikkan tingkah laku Lucan di l'Esterspelle kepada keluarga Rothstein, dan mungkin juga perlawanan kecil yang dilakukan si penyihir es muda. Lucan masih ingat bagaimana si Paman menegur dia keesokan hari setelah bertemu En dan Eindride. Sang Paman tidak secara eksplisit  melarang Lucan pergi keluar sendirian tanpa tujuan, tetapi Lucan menangkap kekhawatiran dalam suaranya. Lucan memutuskan untuk berdiam diri dulu di penginapan selama beberapa hari, menunggu ketegangan mereda sebelum kembali mencari info tentang Pris Gladami.

Siang itu Lucan menghabiskan waktu di ruang baca. Pikirannya tidak benar-benar terpusat pada isi Compendium of Eon Engineering, hanya membolak-balik halaman-halaman untuk melewati waktu. Dia ingin berlatih sihir, tetapi tidak ada tempat yang cukup lapang untuk itu.

"Sebelah sini... Ah." Sang butler mansion masuk ruang baca. "Maaf, saya tidak tahu anda sedang menggunakan ruang ini."

"Ada apa?" tanya Lucan.

"Kami hendak mengganti lukisan di ruangan ini. Namun kalau Tuan Muda Rothstein tidak ingin diganggu..."

"Teruskan saja. Aku tidak peduli," kata Lucan, kembali membaca buku.

Si butler sejenak mempertimbangkan untuk meneruskan pekerjaannya atau tidak. "Terima kasih, Tuan. Akan saya selesaikan secepat mungkin. Silakan, Nona Ophelia."

Pandangan Lucan terangkat saat mendengar nama itu disebut. Ternyata memang Ophelia si pelukis waktu itu. Lucan buru-buru membalikkan badan ke arah lain, menyembunyikan wajah dari Ophelia. Dia tidak ingin dikenali; bisa saja si Ophelia memberitahu Stefano. Kalau sampai mereka tahu dia adalah Rothstein dan memiliki hubungan erat dengan Pris Gladami, bisa-bisa Stefano terus menggerecokinya.

Tiga puluh menit terasa berat dilalui. Selama itu Lucan harus terus menyembunyikan wajah sambil mendengar Ophelia dan si butler membicarakan lukisan seperti apa yang bagus dipajang di situ.

"Baiklah. Silakan tunggu di sini sebentar, saya akan bawakan cek pembayarannya." Sepertinya mereka sudah mencapai kesepakatan. Dia mendengar butler meninggalkan ruangan itu. Ah, kenapa mereka tidak meneruskan di luar ruangan saja?

"Lama tidak jumpa, ya," Ophelia menyapa duluan.

"Apa?" Lucan pura-pura tidak paham dan tidak kenal Ophelia.

"Stefano titip pesan," Ophelia meneruskan, tidak menuruti pancingan Lucan. Kini Lucanlah yang terpancing.

Lucan menduga-duga kalau ini ada hubungannya dengan Pris Gladami. "Tunggu, jangan katakan di sin--"

"Dia bilang datanglah ke Rientoult akhir minggu ini."

"Hah?" 

" 'Daripada hanya berdiam diri di mansion, pergilah ke Rientoult'.  Ada banyak hal menarik selama festival.  "

Lucan mengeryit. "Darimana dia tahu aku ada di sini?"

Ophelia mengedikkan bahu. "Aku hanya menyampaikan pesan. Kebetulan aku ada pekerjaan di sini, hari ini."

"Memangnya ada festival apalagi di Rientoult?" Lucan berusaha mengingat berbagai perayaan yang biasa dilakukan di l'Esterspelle. 

"Kau tahu monster-monster yang bermunculan karena eon malfungsi? Tim dari Odzwielg sudah membereskan itu semua dan orang-orang ingin mengadakan syukuran."

Lucan tersenyum kecut. Pris Gladami rupanya sudah jadi pahlawan, eh? "Akan aku usahakan datang, kalau Paman mengijinkan."


exile_kid: (Default)
2012-01-15 07:43 pm

[Draft] [Fic] [Lunel Chronica] Chapter 2.2

Auillevich, l'Esterspelle

l'Esterspelle masih sama seperti yang pernah Lucan ingat: pemandangan yang artistik dan indah. Ibu Lucan beberapa kali membawa Lucan ke negara yang disebut surga ini untuk menengok ayahnya sedang 'bekerja'. Lucan kecil menyukai tempat ini dan selalu menantikan kunjungan berikutnya, biarpun itu berarti dia harus menemui ayahnya. Hanya saja, perasaan Lucan sekarang sudah agak berubah. Mungkin karena tidak ada ibunya yang menemani. Atau hanya karena dia sudah tumbuh besar sehingga lupa caranya bersenang-senang. 

Seorang penerima tamu dari klien menyambut mereka turun dari kereta. "Selamat datang, Tuan Rothstein! Dan Tuan Muda Rothstein." Lucan memperhatikan nadanya tidak antusias menyapa Lucan. "Apakah Tuan-tuan sekalian mau beristirahat dahulu sebelum berangkat?"

"Tidak usah," kata Paman Maximillian.

"Baiklah. Silakan, sebelah sini." Dia mengantarkan mereka ke kereta kuda menuju Vi Aletti. Sepanjang perjalanan mereka terus-menerus diajak berbicara oleh si penerima tamu. Paman Maximillian tidak berkeberatan menanggapi percakapan, tetapi Lucan tidak terlalu menyukai orang ini. Senyumnya dibuat-buat. Dia mengalihkan perhatian ke jalanan. Eon-eon merah masih berkelebatan di udara walau jumlahnya lebih sedikit.

Pasti Odzwielg tahu sesuatu...

Mungkin dia akan menyelinap keluar lagi kalau ada kesempatan. Daripada mengurusi klien mereka, Lucan lebih tertarik mencari tahu ada apa yang sedang terjadi. Otaknya mulai bekerja, merencanakan hendak ke mana sampai Vi Aletti nanti. Semoga tidak banyak yang berubah dari kota itu.

"Sepi sekali," komentar Paman Maximilian, memperhatikan jalanan kota stasiun. "Apakah karena eon-eon malfungsi?"

"Begitulah. Para penduduk ketakutan dan lebih banyak berdiam di rumah, khawatir akan muncul monster lagi. Tapi para utusan Odzwielg di l'Esterspelle sedang menangani kasus ini, jadi kami bisa lebih tenang sekarang."

Ck. Sudah ada orang dari Odzwielg yang menangani ini rupanya. Atau mungkin ini bisa jadi alasan bagus...

"Paman, bolehkah aku menemui utusan Odzwielg ini?" tanya Lucan.

"Untuk apa?" Paman Maximillian balik bertanya.

"Bukankah Paman bilang aku harus -- harus mencontoh Karen dan menemui orang-orang penting? Biarkan aku belajar dari orang-orang ini." Huh. Dia rasanya ingin berkumur setelah mengatakannya.

Paman Maximillian menatap Lucan dengan tatapan menilai. Lucan sudah mulai melepas harapan kalau permohonannya akan diterima. Di luar dugaan, ternyata Paman Maximillian mengiyakan. "Jangan lupa untuk menjaga sikapmu saat bersama mereka."

"Baik."

Ternyata lebih lancar dari dugaan Lucan.

***
 Vi Aletti, l'Esterspelle

Sekarang, Lucan, akan ke manakah dirimu?

Dia sama sekali tidak memiliki rencana yang solid selain berkeliling Vi Aletti. Dia tidak melihat orang Odzwieg satupun dari tadi. Sepanjang jalan sepi dari orang. Yang ada di jalanpun tampangnya agak was-was dan penuh kecurigaan; berbeda dengan ingatan Lucan dari masa lalu di mana orang-orang tampak ramah. Mungkin karena dia benar-benar kelihatan seperti seorang Odzwielg. Atau jangan-jangan karena bajunya? Seharusnya dia berganti ke baju yang tampak lebih sederhana dulu. Dia tidak menyukai tatapan orang-orang di jalanan. Mereka tampak begitu menilainya, menatapnya dengan tajam.

"Hei, kau." Seseorang menepuk pundaknya.

Lucan menjengit. "A-Ada apa?!"

Seorang pria pirang bertampang cantik menatapnya keheranan -- berlebihan sekali reaksi anak ini. Dia menyerahkan sebuah dompet. "Ini punyamu, kan?"

Lucan menarik dompet itu dari tangan si pria. Kapan dompetnya terjatuh? Dia tidak sadar. Jangan-jangan sebenarnya dia copet. Diperiksa isi dompetnya -- masih lengkap. "Terima kasih."

Si pria cantik mendengus sebal. Tidak sopan sekali, sudah dibantu reaksinya dingin begitu.

Lucan sudah hendak pergi, tapi si pria menahannya lagi. "Tunggu. Rambutmu berantakan," katanya pelan. Sisir dan gel rambut keluar dari sakunya. Tanpa babibu lebih lanjut dia langsung menyisir rambut Lucan.

"Hei, apa-apaan---"

"Diam dulu." Lucan merasakan sesuatu yang dingin menyentuh ujung kepalanya, lalu menyebar ke seluruh rambut. "Nah, beres. Sudah rapi sekarang."

Dengan kesal Lucan mengacak tatanan rambut si pria gadungan. Rambutnya, terserah dia mau berantakan atau tidak. Dia bukan anak kecil lagi. "Jangan sentuh aku semaumu! Dan jangan seenaknya menyebutku tidak rapi -- kau tidak punya hak untuk mengurusi penampilanku! Dasar aneh..."

"Hei, kau yang aneh! Dibantu malah marah-marah. Dasar anak muda jaman sekarang..." Dengan kepala mendongak si pria berambut pirang meninggalkan Lucan.

"Eh, tunggu! Apakah kau melihat orang Odzwielg lain di Vi Aletti?"

"Apa? Orang Odzwielg? Tidak ingat. Aku sudah bertemu puluhan orang hari ini."

"Seburuk apa pula daya ingatmu? Satu di antara puluhan orang tidak akan susah untuk dihafal atau diingat kembali."

"Memangnya kau memperhatikan orang di sekitarmu kalau kau sedang bekerja?! Aku juga tidak akan memberi tahumu kalau memang aku melihat. Sudah ya, aku capek berurusan dengan orang sepertimu."

"Pergilah sana! Memangnya aku peduli?!"

...Tampaknya dia akan benar-benar pergi. Lucan mendadak tidak enak karena dia adalah penduduk lokal. Setidaknya dia dapat membantunya suatu hal (selain menata rambutnya). Apalagi paman sudah berpesan agar dia menjaga sikap. Lucan memanggil dengan suara kecil. "H-Hei, kau."

"Ada apa? Sebenarnya kau mau apa, sih?"

"... Maaf soal tadi. Maksudku, ehem, kupikir kau bisa sedikit membantu di sini. Aku tidak biasanya meminta-minta seperti ini, namun aku tidak mengetahui seluk-beluk mengenai tempat ini... Aku terpisah dari keluargaku dan tidak tahu harus mencari di mana." Lucan terpaksa merancang kebohongan untuk mendukung rencananya.

"Hmph. Apa boleh buat," si pria mengalah. "Aku memang tidak ingat melihat orang Odzwielg satupun tadi pagi. Tapi mungkin Ophelia atau Stefano melihat."

Alis Lucan terangkat mendengar dua nama asing itu.

"Ophelia adalah seniman di sini. Kalau Stefano... Kalau kau orang lokal -- apalagi wanita -- pasti kenal dengan Stefano Cavalcanti."

"Aku bukan dari l'Esterspelle," Lucan mengingatkan. "Aku juga bukan wanita."

"Ikut aku. Setahuku Ophelia sedang bekerja di salah satu hotel di dekat sini."

Seniman? Lucan langsung membayangkan seorang wanita nyeni, berambut panjang anggun sedang melukis di ruangan mewah. Apalagi melihat hotel yang mereka tuju kelihatan cukup mewah. Harapannya naik. Sepertinya Ophelia ini adalah orang terkenal. Si pria pirang bertanya pada penjaga hotel di manakah Ophelia. Penjaga bergantian melihat si pirang dan Lucan. "Tunggu di sini. Biar aku panggilkan."

"Siapa namamu? Aku Sebastian Fraischten, pesulap jalanan." Sebastian memperkenalkan diri sementara mereka menunggu.

Pesulap jalanan? Lucan pikir dia bekerja di salon atau apa. "Aku... Lucan Redstone." Dia tidak berniat memberi tahu nama aslinya, tidak ingin ada yang mengenalinya sebagai Rothstein.

"Untuk apa anak sepertimu nerjalan terpisah dari kelurgamu? Tidakkah kau tahu baru-baru ini ada serangan monster karena itu?" Sebastian mengangguk ke langit yang kemerahan karena eon-eon malfungsi.

Lucan berusaha merancang kebohongan. "Aku tertinggal rombongan. Dan aku bukan anak kecil."

"Kau ditinggal mereka?" Sebastian mulai mengasihani Lucan.

Sabar, Lucan. Pintar-pintarlah bersandiwara. "...Iya."

"Kau memanggilku, Sebastian?"

"Ah, Ophelia. Maaf mengganggumu."

Lucan nyaris bengong melihat si Ophelia ini. Rambut panjang bergelombang dan nyeni (celemeknya belepotan cat di sana-sini), memang, tetapi penampilannya yang serba hitam lebih mengingatkan Lucan akan nenek sihir di cerita-cerita sebelum tidur. Apalagi lingkar hitam di sekitar matanya kentara, membuatnya kelihatan tidak niat hidup. Jangan-jangan Sebastian salah orang.

"Anak ini terpisah dari keluarganya. Kau melihat orang-orang Odzwielg hari ini?" tanya Sebastian.

Ophelia terdiam lama sekali. "Sepertinya iya. Ada satu-dua orang datang ke hotel."

"Seperti apa wajah mereka?" Lucan cepat bertanya.

"Sebentar." Ophelia mengambil kertas entah dari mana dan mulai membuat sketsa wajah dengan pensil. Gambarnya bagus -- Lucan agak malu telah menyangsikan profesinya. "Seperti ini."

Opheli menyerahkan kertas sketsa pertama. Pemuda berambut pendek berantakan bertampang angkuh. Bajunya khas militer Odzwielg.

Ophelia lalu menyerahkan kertas berisi orang kedua. Wanita berambut pendek. Warna sketsa yang hitam putih menyulitkan Lucan menebak apakah mereka memang orang Odzwielg yang khas dengan kulit dan rambut pucat.

"Mereka keluargamu?" Sebastian ikut melihat kedua sketsanya.

"B-Begitulah. Boleh aku bawa ini?"

"Silakan. Semoga bisa cepat bertemu keluargamu, ya."

"Uh, terima kasih. Aku permisi dulu," Lucan beranjak pergi dari beranda hotel, tapi Sebastian menahannya.

"Tunggu. Biar aku temani kau. Tidak baik berjalan sendirian di kota asing," kata Sebastian.

"Aku bukan anak kecil," Lucan mengulang jengkel.

"Iya, iya, tapi kamu tetap saja tersesat."

Tarik nafas. Keluarkan pelan. Dia harus setia pada sandiwaranya. ".....baiklah."

***

"Siapa nama mereka?" 

"Huh?"

"Nama mereka. Biar lebih gampang mencarinya," Sebastian mengangguk ke sketsa di tangan Lucan. 

Gawat. Lucan harus segera mengarang sesuatu. Inilah mengapa dia tidak ingin diikuti si banci penampilan ini -- cepat atau lambat dia pasti akan banyak tanya. Mungkin si Sebastian ini sebenarnya tahu siapa dirinya dan tujuan aslinya. Dia sedang diawasi. Odzwielg memang ada di mana-mana, mengawasi Lucan dan gerak-geriknya...

"Hei! Kau dengar tidak kataku?"

Tangan Lucan gemetar dan keringat dingin mengucur dari dahi. "A-Aku tidak apa-apa!"

...ada apa dengannya hari ini? Rasa takut dan khawatir terus mengikutinya. Tengkuknya terus merinding. Dia melihat ke sekeliling -- dan semakin yakin kalau sesuatu memang mengikutinya.

"Kau mau istirahat dulu? Kau kelihatan tidak sehat," usul Sebastian.

"T-tidak perlu. Aku harus segera bertemu mereka... Kau pergi saja. Memang tidak ada urusan lain?"

"Kalau ada apa-apa denganmu, aku jadi tidak enak. Lagipula aku tidak ada rencana pertunjukkan hari ini. Ayo, istirahat dulu."

Lucan menyerah dan membiarkan Sebastian membawanya ke sebuah kafe kecil di pojok kota. Betapa kagetnya Lucan mendengar suara ribut begitu dia masuk kafe -- sejenak dia pikir ada serangan monster lagi. Ternyata ada kumpulan wanita dengan suara kekaguman dan memuji yang dibuat-buat.

"--atau kau mau ke Melophia? Keluargaku punya villa di sana!"

"Ke Yozakura saja! Cuacanya hangat!"

"Ikut ke Rientoult denganku!"

Seorang pria dengan rambut spiky dan dikuncir panjang mengeluarkan nafas panjang.  "Maaf, ladies, aku ingin sendiri dulu saja. Aku sedang ada kerjaan hari ini. --Ah, itu dia temanku! Halo, Sebastian! Kamu lama juga." Dia meninggalkan meja dan kerumunan wanita, melemparkan kiss bye. Lucan memperhatikan ada tato di pergelangan tangan kirinya -- Stefano. Si Cavalcanti yang dimaksud Sebastian itu orang ini? Kenapa sih dia bertemu orang aneh terus sejak di Melophia?!

Stefano merangkul Sebastian dan Lucan, menggiring mereka menjauh dari fangirls Stefano. Mereka tampak kecewa dan langsung membubarkan diri. "Beruntung sekali kamu datang, Sebastian. Aku sudah nyaris membentak mereka," ucap Stefano penuh kelegaan.

"Kami juga beruntung -- kebetulan kami sedang mencarimu."

"Bantuan? Oh, siapa anak ini?"

"Namanya Lucan," kata Sebastian. "Dia dari Odzwielg dan terpisah dari keluarganya. Kau lihat dua orang ini?" Sebastian menarik sketsa wajah dari Lucan dan menyerahkannya ke Stefano.

Stefano mengerutkan dahi. Dia menatap Lucan dengan tajam. "Mereka keluargamu?"

"B-begitulah."

"Hmm." Stefano kembali melihat kedua sketsa -- wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya. Apa yang sedang dia pikirkan? Lucan berusaha tenang; dia tidak akan curiga macam-macam pada anak sepertinya. Tenanglah, tenanglah... "Baiklah. Aku akan menghubungi beberapa orang untuk membantu. Kau tunggu saja dulu. Sebastian, ikut aku."

Keduanya keluar dari kafe. Sekilas Lucan menangkap Stefano kembali meliriknya. Stefano pasti mengetahui sesuatu tentang dua orang ini. Wajahnya semakin serius saat membicarakan dua orang di sketsa itu dengan Sebastian.

Mumpung mereka berdua tidak ada, sekarang saatnya aku kabur... Lucan menyelinap keluar dari pintu belakang kafe, tiba di gang kumuh. Ini pertama kalinya dia melihat sisi lian Vi Aletti yang biasanya indah. Apa boleh buat, kalau dari jalan depan bisa kepergok Sebastian dan Stefano. Ada perasaan bersalah telah meninggalkan Sebastian yang sudah repot-repot membantunya, tapi mulai dari sini dia bisa sendiri, kok.

Seorang gelandangan menyuiti Lucan. "Heeeei, Nona manis! Kok sendirian aja?" 

Lucan menyikut si gelandangan agar menjauh; baunya memuakkan sekali.  Lucan ingin membentaknya -- apanya yang manis darinya? --  tapi dia sudah kelelahan. Lagipula si gelandangan tampak nge-fly. "Minggir."

"Jangan begitu, dong. Tidak baik sendirian di tempat begini -- biar aku temani. Ehehehe~" Tangan kotor si gelandangan menggandeng Lucan, menarik-nariknya.

"Apaan--"

"Maaf, nona ini sudah bersama saya." Sebuah tangan lain menariknya dengan kasar dari gelandangan. Jantung Lucan rasanya langsung berhenti melihat penolongnya -- si pemuda angkuh yang digambarkan Ophelia. Si gelandangan langsung mundur, ikut merasa terancam oleh kehadirannya.

"Aku sudah menemukannya, En." Lengan si pemuda yang mengenakan gelang didekatkan pada bibirnya.

"Kembalilah ke tempat yang sudah ditentukan. You copy?" Ada suara wanita dari gelang itu merespon.

"I copy. Ayo." Dia menyeret Lucan tanpa mengindahkan gerutuan si Rothstein muda. "Ngapain kamu berjalan di gang kumuh seperti itu?"

"Ya, memang seharusnya saya tidak berada di situ. Siapa anda dan apa urusan anda dengan saya?" tanya Lucan sengit.

Si pemuda melepaskan Lucan begitu mereka sudah kembali berada di jalan besar. "Urusan Rothstein adalah juga urusan Odzwielg. Urusan Odzwielg adalah urusan saya. Dari mana Anda menyimpulkan saya tidak memiliki urusan apapun dengan Anda? Tidakkah Anda tahu siapa saya, Tuan Lucan Rothstein?" tanyanya dengan angkuh.

DEG. Pemuda ini tahu kalau dia seorang Lucan Rothstein. Dia mengerutkan dahi untuk berusaha terlihat mengintimidasi. "Ehem, baiklah. Kalau begitu apa yang anda inginkan dari seorang buangan Rothstein dari saya?"

"Saya hanya ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Anda. Tahukah Anda tentang Pris Gladami?"

"Saya sudah tahu tentang Pris Gladami dan semua tetek-bengek mereka. Dan kepentingan mereka untuk Odzwielg yang sok berkuasa," Lucan menambahkan dengan sinis. 

"Berarti Anda sudah tahu tentang eon-eon terkorupsi dan apa tugas Pris Gladami sehubungan dengan itu. Dan juga akibatnya terhadap kondisi Anda."

Alis Lucan terangkat. "Kondisi saya?"

"Apakah Anda merasakan perubahan pada diri Anda? Kelelahan fisik atau keadaan psikologis yang janggal? Itu semua efek dari eon terkorupsi. Apalagi Anda melakukan kontak langsung dengan eon terkorupsi selama di Eldera." pria itu menjelaskan.

Eon terkorupsi... Berarti rasa tidak tenang dan selalu curiga yang dia rasakan sejak tadi adalah efek eon terkorupsi? "Lalu? Untuk apa Pris Gladami yang begitu berkuasa di Arcen repot-repot mengawasi saya?"

Pria itu berdecak kesal. "Sudah saya katakan urusan Rothstein adalah urusan kami juga. Akan repot bagi Odzwielg jika terjadi sesuatu pada keluarga Rothstein... Bahkan untuk sampah mereka sekalipun."

Emosi Lucan langsung tersulut -- sudah lama tidak ada yang berani menyinggung statusnya di keluarga Rothstein. "Oh, baik sekali seekor anjing Odzwielg mau merelakan waktunya untuk sampah seperti saya."

Ekspresi angkuh si pemuda mendadak berganti pada kata itu. Bibirnya melengkung ke senyuman -- yang lebih mirip seringai -- dan dia terkekeh. Tangannya menyisir rambut merahnya dengan gugup. Dia sudah kehilangan kemampuan untuk tetap berkepala dingin. "Oh, jadi begitu? Anjing Odzwielg? Beraninya kau..." Dia mengeluarkan sebuah staff kecil mirip keris berwarna perak. 

Lucan, dengan senjata teracung ke wajahnya, mengeluarkan Sistostar dari udara hampa. Keduanya sudah siap saling melemparkan mantera, tidak peduli ada orang-orang yang menonton mereka, tidak peduli mereka sedang berada di negeri asing, tidak peduli akan peringatan yang telah disampaikan ke mereka.

"Forvrængning--"

"Volatile--"

Belum sempat menyelesaikan kata masing-masing, sudah ada suara CKLIK dan ujung laras senjata api tertempel di kepala mereka.

"Ein, aku sudah memberitahumu untuk tetap tenang, bukan? Tuan Lucan, tolong turunkan senjata Anda." Seorang wanita -- satu orang lain yang digambar Ophelia -- berkata dengan tenang. Rambut pendeknya pirang dan bergelombang tertiup angin eon yang muncul dari pra-merapal mantera.

Kedua pemuda Odzwielg itu masih mempertahankan posisi masing-masing, siap meneruskan mantera.

"Dinginkan kepala kalian atau aku akan membuat seluruh tubuh kalian mendingin," wanita itu memperingatkan dalam suara lebih dalam. Sorot matanya sudah kehilangan kelembutan yang sempat ada. Ujung jari-jarinya semakin dalam menarik pelatuk pistol.

"...." Kedua senjata diturunkan, tapi tidak dengan rasa benci kepada satu sama lain.

"Fuuuh. Tidak kusangka akan seperti ini jadinya," ujar si wanita. Dia menyarungkan kembali  kedua senjata apinya. "Ein, kamu akan mempertanggungjawabkan ini begitu kita kembali."

"Tapi aku---"

"Memang karena kamu," sambar Lucan. Ein sudah siap merangsek ke Lucan lagi, tapi kedua tangan si wanita -- yang ternyata bertenaga besar -- menarik dan melemparkan mereka ke arah berlawanan.

"Cukup. Cukup! Eindride, ingat kesepakatan kita. Tuan Lucan, saya minta agar Anda juga tenang."

Kedua pemuda itu mendengus sebal, masih bernafsu melampiaskan kekesalan masing-masing. 

"Oh ya, saya belum memperkenalkan diri. En, pelayan keluarga Lovelace, juga anggota Pris Gladami." Wanita itu memberi salam kepada Lucan. "Ein, sudahkah kamu memperkenalkan diri? Di hadapanmu adalah anggota keluarga Rothstein. Bersikaplah yang pantas."

"...Eindride Hanstveit." Pemuda berambut merah itu menyebutkan namanya dengan enggan.

En mengangguk puas. "Karena kalian berdua sudah siap duduk bersama... Mengapa kita tidak mencari tempat untuk berbincang?" 

"Apa lagi yang kalian mau bicarakan? Tentang eon terkorupsi? Tentang Pris Gladami yang terhormat? Aku sudah tahu tentang mereka. Selengkap-lengkapnya sampai aku mati bosan jika kalian senandungkan lagi soal itu."

"Kedua, aku bukan anak kecil lagi! AKu tidak mau diawasi terus-menerus, apalagi oleh militer Odzwielg!" Lucan melempar pandangan menghina ke Ein.

"Saya tahu anda tidak suka diawasi gerak-geriknya. Tidak akan ada yang suka. Tetapi ada hal yang lebih penting dari itu... seperti di mana Anda akan berpihak," kata En.

Hening. "Di mana saya akan berpihak?" Lucan tersenyum menyindir. "Apa pedulinya Odzwielg yang terhormat pada keberpihakan seorang -- seorang buangan Rothstein seperti saya?"

"Segalanya. Sekarang, mari kita berbicara di tempat yang jauh dari telinga-telinga usil."  Tangan En terayun ke arah sebuah kafe -- yang tadi dikunjunginya bersama Sebastian. "Kami juga  harus menetralisir efek eon terkorupsi pada tubuh Anda."

Lucan hendak menolak, tetapi paranoia itu kembali muncul. Kakinya mulai gemetar, ada rasa takut kalau dia akan terhisap oleh bumi-- "Baiklah. Tapi yang cepat."

"Jangan khawatir. Sudah menjadi tugas Pris Gladami untuk mengatasi semuanya dengan cepat dan tepat."


exile_kid: (I won't let you look away from me)
2012-01-09 07:57 pm

[FIC] [Lunel Chronica] Pilot chapter

Alam Odzwielg sudah lama tidak memberikan kehangatan, tetapi Klein Lovelace masih belum terbiasa dengan udara dinginnya. Pemuda itu merapatkan syal buluknya ke leher untuk menahan lebih banyak udara hangat. Suasana perpustakaan Research Institute of Eikenheim  yang sepi menambah rasa dingin. Hanya ada beberapa siswa dan siswi yang datang, itupun langsung keluar lagi setelah menemukan buku yang mereka inginkan, mencari tempat yang lebih hangat. Rasanya ingin pulang ke rumah -- dia tidak menyukai suasana di rumah, tetapi setidaknya akan ada minuman hangat dan kue untuknya.

Klein sedang menguap menatap tumpukan salju di luar jengela ketika tiba-tiba ada suara ledakan dari bagian perpustakaan yang lain, diikuti oleh suara wanita melengking. Suara ibu penjaga perpustakaan. Sepertinya dia sedang mengomeli seseorang. Rasa ingin tahu yang didorong rasa bosan membawa Klein berjalan ke sumber keributan.

"Falkenrath! Sudah dibilang dari dulu kalau kamu tidak boleh merekayasa Eon sembarangan di perpustakaan!" 

"Ehhh, bukan saya yang melakukan!" Seorang gadis berambut pucat membela diri. Ada bekas gosong di lantai dan kayu rak perpustakaan. Bau hangus memenuhi hidung Klein.

"Di sini tidak ada siapapun selain kamu!"

"Tuh, ada anak itu!" Gadis itu menunjuk ke Klein.

"Huh?" Klein langsung mundur selangkah. Ada apa ini, kenapa tiba-tiba dia diseret masuk ke masalah ini?

"Maksudku, cuma ada kamu tadi di tempat ini!" Si ibu penjaga perpustakaan tampak jengkel. "Pokoknya kamu ikut aku sekarang ke Professor Cantrell!"

Penjaga perpustakaan sudah siap membawa Luise ke ruang guru saat penerangan di perpustakaan mendadak mati.

"Bukan karena saya!" si gadis cepat-cepat menyangkal. Penjaga perpustakaan membuang nafas panjang.

"Kau, tunggu di sini dan jaga dia," kata penjaga perpustakaan ke Klein. Tanpa menunggu persetujuan Klein dia langsung pergi untuk kembali menyalakan penerangan.

Kali ini giliran Klein yang mendesah panjang. Dia memperhatikan si gadis. Dia tidak pernah melihat anak ini sebelumnya. Sepertinya dia adik kelas, kalau melihat badannya yang mungil dan wajahnya yang cerah nan polos. Yah, dia jarang mengingat orang-orang di institut kecuali yang menarik perhatiannya, jadi dia tidak yakin dengan tebakannya. Ada sesuatu tertulis di pojok atas sampul buku yang dibawa si gadis -- Luise Falkenrath. Sepertinya itu nama si gadis...

"Mungkinkah dia akan memaafkanku kalau aku membantunya menyalakan penerangan?" tanya Luise. Tangannya yang terbungkus sarung tangan mengepal penuh semangat.

"Jangan," kata Klein. 

"Tapi betul, ledakan tadi bukan karena aku!" Luise tampak tersinggung dengan penolakan Klein.

Klein tidak menggubrisnya. Lalu, sama tiba-tibanya dengan ledakan barusan, dia mulai mendengar suara-suara bisikan entah dari mana. Perlahan-lahan suara itu semakin terdengar dan muncul dari segala arah. Perasaan Klein langsung tidak enak.

"Lihat!" Luise menunjuk ke udara. Bola-bola cahaya berwarna merah ikut bermunculan. Mereka pikir itu adalah kunang-kunang -- tapi di sini? Butuh waktu beberapa lama bagi Klein untuk sadar apa cahaya itu.

"Eon?" Klein bergumam.

"Eon?! Ini eon? Tetapi kenapa berwarna merah?"

"Sepertinya eon malfungsi."

"Malfungsi? Eon kan bukan seperti mesin!"

Klein mengedipkan matanya berulang kali untuk menyesuaikan dengan terang eon abnormal yang kontras dengan kegelapan. Lebih banyak eon-eon merah yang muncul, baik di dalam perpustakaan maupun di luar gedung institut -- melesat seperti bintang jatuh -- diikuti oleh suara kaca pecah dan jeritan si penjaga perpustakaan. 

Luise terperanjat. "A-ada apa?!"

"Kamu tunggu di sini. " Klein melesat mencari penjaga perpustakaan.

"Eh! Tunggu! Jangan tinggalkan aku sendirian di sini!" Luise ikut berlari menyusul Klein.

Mereka menemukan beberapa rak yang bukunya berjatuhan dan pecahan kaca jendela. Suara jeritan minta tolong terdengar dari sudut ruangan. Apa yang mereka lihat berikutnya mengagetkan mereka; seekor tikus raksasa menyudutkan si penjaga perpustakaan yang sudah jatuh terduduk di lantai. Taring si monster tikus tampak sudah siap mencabik si penjaga perpustakaan. Dengan histeris si penjaga perpustakaan melemparkan buku-buku yang berjatuhan di sekitarnya.

Klein mengangkat tangan, mulai merapal kata-kata di udara untuk menyerang si monster, tetapi Luise sudah lebih cepat darinya.

"E-Electrawaaaave!

Suara gemericik listrik muncul di sekeliling Luise dan panah-panah langsung muncul, menyerang tikus monster. "Kena!" Luise berteriak girang.

Si monster diam beberapa saat. Badannya berbalik ke Klein dan Luise. Tampaknya serangan Luise tidak mempan. Setidaknya kini si monster tidak menyudutkan penjaga perpustakaan (yang sudah mau pingsan).

Pilihan Klein sekarang: serang atau kabur?

"Tch, terpaksa." Klein menggunakan glove untuk menuliskan sesuatu di udara dan memadatkannya. Diluncurkannya rangkaian huruf itu untuk memukul si tikus raksasa. Namun serangannya terlalu cepat, sehingga melesat dan dia ikut terjatuh. Sial, aku jadi keliatan gak keren... Memang harus sering berlatih akurasi.

Si tikus mengambil kuda-kuda dan melompat ke Klein. "Awas!!" Luise kembali melancarkan panah listrik untuk menangkis si monster dari Klein. Kali ini tampaknya cukup efektif -- si monster berhenti selama beberapa detik. Klein menggunakan kesempatan ini untuk mengulangi serangan. Dia cepat-cepat bangun dan melancarkan random spell. "Eonsai..."

Serangannya kena. Si tikus langsung terlempar ke rak buku dan tertimpa puluhan buku yang rubuh. Monster itu sempat mencicit lemah sebelum akhirnya hilang, kembali menjadi eon-eon merah. 

"Anda tidak apa-apa?" Luise berjongkok dan mengecek penjaga perpustakaan. Dia melirik tumpukan buku di lantai, sepertinya takut akan diomeli karena itu. Ibu pustakawati diam saja dengan mata terbelalak dan nafas berat, masih shock dengan yang barusan. Luise dan Klein membantunya berdiri dan mendudukannya di sebuah kursi.

"Sebaiknya kita mencari bantuan---" Belum selesai Klein berbicara, terdengar lebih banyak jeritan. Kali ini datangnya dari luar perpustakaan.

"Jangan bilang ada lebih banyak monster!" kata Luise panik.

Sambil memapah ibu pustakawati, Klein dan Luise setengah berlari ke lobi institut. Para siswa siswi berlarian tidak menentu arah di koridor. Bulatan eon-eon merah memenuhi udara, berubah dan memunculkan lebih banyak monster tikus. 

"Semuanya harap segera keluar gedung dan mengamankan diri! Ini bukan latihan! Sekali lagi, ini bukan latihan!" Seorang profesor berteriak mengatasi keributan sambil menahan seekor monster tikus dengan energy coat dari eon.

"Professor Cantrell!" Luise berteriak memanggil si profesor. Dia hendak menghampiri Profesor Cantrell, tetapi Klein menahannya. 

"Kita harus pergi menyelamatkan diri..." kata Klein.

"Ahhh! Biarkan aku membantunya!"

 "Para guru pasti bisa menghadang mereka. Lagipula listrikmu tidak akan mempan pada tikus-tikus itu."

Dengan keberatan Luise menuruti Klein. Mereka mengikuti arus orang-orang yang menyelamatkan diri keluar dari gedung. Para penjaga bersenjata mengarahkan murid dan staf institut lain ke tempat yang lebih aman, agak jauh dari institut, sementara mereka membasmi monster-monster tikus. Sulit untuk bisa berjalan tanpa terjatuh atau mempertahankan keseimbangan; memapah ibu penjaga perpustakaan di antara lautan orang-orang panik adalah pekerjaan berat.

"Jangan di situ... banyak orang. Banyak kata-kata." Klein memberi tahu Luise saat mereka mencapai tempat perlindungan yang ditunjukkan penjaga. Melihat orang berkerumun dan mendengar gumaman riuh rendah sudah membuat Klein pusing. Belum lagi kata-kata yang terus bersel

"Kenapa jangan banyak orang?? Kalau sedang dalam situasi berbahaya jangan menyendiri! Nanti si tikus datang lagi. Kita tidak mungkin melawannya sendirian! Yah, mungkin kamu bisa, tapi aku..."

Cewek ini berisik sekali... keluh Klein dalam hati. Sebagai orang yang menyukai ketenangan, Klein tidak akan mendapatkannya kalau terus berada dekat gadis ini.

"...menyebalkan."
 


exile_kid: (Default)
2011-12-24 12:20 am
Entry tags:

[old archive] [Unnamed World] Chapter 01: Of Weirdness and Wishes

Sensasi aneh selalu muncul begitu cahaya hijau itu berpendar -- hangat, memberanikan, tetapi juga menyelipkan rasa bahaya. Namun sebagai remaja berusia 16 tahun, rasa bahaya itu berusaha dianggapnya sebagai tantangan.

Rasa yang mengubah keseharian, menjadi medali dari setiap petualangan rahasianya.

"Hostile magical energy approaching from south, approximately 50 meters."

"Selatan?" Selena berputar, mencari arah selatan. Ah, bagaimana caranya dia mengetahui mana selatan mana utara? "Uhm, Remi, bisa tunjukkan mana arah selatan?"

"Turn to your left, Ma'am." Suara wanita robotik Reminiscences menjawab. "Hostile magical energy at 30 meters."

Sudah tiga puluh meter? Cepat sekali---

"!!"

Selena sudah melihat satu sosok kecil berkelebatan di ujung jalan, bergerak zig-zag untuk mengacaukan arah bidikan. Sialan, aku paling benci yang cepat seperti ini.

"Remi, Barrier!" Selena mengangkat tangan kiri ke depan, memunculkan diagram sihir yang berpendar hijau. Tepat waktu. Si sosok kecil - yang ternyata makhluk bola berbulu lebat - sudah menerjang ke arahnya. Diagram sihir di depan menahan serangan makhluk bola bulu itu, mementalkannya kembali ke aspal jalanan.

Tenang, jangan khawatir. Kalau kau konsentrasi...

"Valiant." 

Diagram sihir di depan Selena menghilang, berganti menjadi diagram-diagram lebih kecil dalam jumlah banyak. Bundaran bercahaya bermunculan dari pusat masing-masing diagram, melayang di udara.

...dari sekian banyak serangan pasti akan ada yang kena.

Dengan satu perintah dalam kepala, bola-bola cahaya itu bergerak cepat mengincar si makhluk berbulu. Beberapa gagal dan langsung menghantam tanah, menghilang. Beberapa berhasil berbelok dan mengikuti gerakan makhluk berbulu yang terus menghindar, mencari celah untuk mendekati Selena. Selena menyadari ini. Dia sengaja membiarkan bola-bola cahaya itu bergerak dalam putaran di sekelilingnya, menakuti si makhluk kecil itu. Matanya menyipit, berusaha menduga darimanakah si makhluk akan masuk...

Dari arah kanan. Si makhluk mendadak berbelok tajam. Selena tidak cukup cepat mengontrol serangannya sehingga bola-bola cahaya yang tersisa menabrak dinding. Tidak ada waktu lagi untuk merapal serangan baru -- Selena refleks mengayunkan tongkat baseball dan menghantam si makhluk berbulu.

Suara 'BLUG' yang muncul menimbulkan rasa ngilu.

Sejenak Selena diliputi rasa bersalah begitu melihat si makhluk terkapar. "...Maaf. Kalau mau mencari seseorang untuk disalahkan, tolong salahkan pemanggilmu." Selena berjongkok dekat si makhluk berbulu, mengulurkan tangannya yang memegang sebuah kristal bundar berwarna hijau bening. Reminiscences, magical equipment yang telah membantunya menghadapi si makhluk.

"Reverse starting."

Diagram sihir yang sama muncul di permukaan tanah tempat makhluk itu menyambut masa hidupnya. Tidak, dia tidak mati. Selena hanya mengembalikan dia ke asalnya: energi sihir yang bebas.

Kau sudah tahu makhluk ini tidak pernah hidup, tetapi mengapa sensasi itu selalu muncul saat kau menghentikan mereka? (Kau menolak untuk menggunakan kata 'bunuh'?)

Cahaya hijau cantik yang muncul dari diagram sihir tampak kontras dengan warna pucat makhluk yang kini membeku, seperti semen yang perlahan mengering.

Hanya dalam beberapa detik, hanya sebutir batu permata yang tersisa di tanah.

Selena menghela nafas. "Fuh. Ini sudah yang keempat minggu ini... Makin lama mereka makin sering muncul." Batu itu langsung melepaskan warna biru tuanya menjadi warna kelabu begitu ia ambil, menerbangkan serpih-serpih cahaya yang dikenalinya sebagai energi sihir.

"Ahhh, lagi? Padahal aku ingin coba memanggil satu makhluk menggunakan ini..."

"Synthesizer magic requires greater magic control." Reminiscences mengimplikasikan kalau Selena belum cukup mampu untuk melakukan sihir penciptaan.

"Aku tahu, aku tahu. Aku hanya ingin menyimpannya untuk digunakan kemudian hari."

Kemudian hari - yang jelas bukan esok. Atau bulan ini. Mungkin bukan dalam satu dekade ini.

Reminiscences dan tutorial mode-nya adalah guru yang baik, tapi Selena berpikir untuk bisa belajar sihir lebih banyak, dia harus belajar dari orang lain. Penyihir sungguhan.

---

"...satu Vertrauter lenyap lagi."

"Force 46?"

"Entahlah... Kuharap bukan." Pemuda dalam jacket hoodie itu menyandarkan diri ke punggung sofa. Satu gerakan tangan menghilangkan diagram sihir merah di depannya.

"Mungkin penyihir lokal," seorang gadis menimpali. "Force 46 seharusnya masih sibuk dengan pengalihan Blaise dan Iris di kota sebelah."

"Itu, atau Bureau sudah mengirimkan bala bantuan," kata si pemuda. Dugaan itu langsung menjatuhkan keheningan di ruangan itu.

"Mungkin kita harus berpindah tempat lagi." Si gadis mengeluarkan senyuman tipis untuk menghilangkan ketidakmantapan dalam sarannya.

"Colt? Bagaimana menurutmu?" Si pemuda dalam hoodie bertanya ke pemuda berkulit gelap di depannya.

"Apapun keputusan Tuan Muda, saya akan mengikuti," kata Colt. Bukan jawaban yang diharapkan si Tuan Muda, tapi toh dia tetap tersenyum.

"Begitu ya..."

"Eiz," si gadis berkata lirih, "aku masih ingin kita berada di negara ini lebih lama lagi... Bukankah Canon bilang kalau Fallen ada di negara ini? Walaupun butuh waktu lama untuk menentukan titik pastinya."

"Aku tidak masalah, Etta, tapi Blaise sudah tidak sabar," kata si pemuda dalam hoodie.

"Bukankah kamu adalah Tuan Muda Eizeln Rothschild? Kupikir semua orang di rumah ini akan menurut apapun perkataanmu."

Ketiganya langsung putar badan ke arah pintu masuk. Seorang gadis kecil, tidak lebih dari 11-12 tahun, berdiri di situ. Penampilannya mirip boneka porselen; kulit pucat, rambut pirang keemasan, dan ekspresi yang datar. Baju terusan panjang merah tuanya menambah kesan kalau dia bukan berasal dari dunia yang sama.

"Aku membawa kabar," Canon, si gadis cilik, bersuara sebelum Eiz membuka mulut. "Fallen dipastikan ada di kota ini."

Ekspresi tiga orang di hadapan Canon tegang. Bukan kelegaan, bukan pula kekagetan. "Di mana...?" Eiz bangkit dari sofa.

"Belum sejauh itu. Aku hanya menangkap sekilas energi sihirnya." Canon mengibaskan rambutnya. "Sepertinya kalian akan di kota ini untuk waktu lebih lama. Kuharap kalian sedang tidak terburu-buru?"

Eizeln dan yang lain terdiam. Canon tahu mereka tidak punya pilihan lagi. "Jangan khawatir, aku juga ingin melakukan ini secepat mungkin. Berkat kerja kalian yang berantakan, Bureau sudah datang ke negara ini."

"Bureau sudah...?!"

"Namun dengan kekuatan kalian, kurasa menahan satu tim kecil dari Bureau tidak akan masalah." Canon entah memuji atau memperingatkan. "Saranku, jangan terlalu bernafsu menghajar mereka. Kalau mereka sadar kalian adalah lawan yang kuat, mereka akan mengirimkan lebih banyak orang lagi."

"Nah, kurasa sampai sini saja. Aku akan kembali lagi kalau ada informasi baru..." Canon berjalan keluar dari ruangan itu. Tidak ada satupun yang mengikutinya.

Eizeln menghela nafas. "Sampai Canon menemukan letak pasti dari Fallen, kita hanya akan terus mengumpulkan Magi Essence..."

Magi Essence - inti sihir. Eizeln tidak terlalu suka mengumpulkan Essence di dunia ini. Energinya tidak sebesar dibanding dunia lain, tetapi sampai mereka bisa menemukan Fallen, mengumpulkan Magi Essence jadi pekerjaan utama mereka. Eiz mendengar suara hati yang menyuruhnya terus bersabar. Jangan khawatir. Tidak ada perjuangan yang cepat selesai.

Dibandingkan penderitaan orang-orang di Old Ostia, ini tidak ada apa-apanya.

---

"Arthur! Arthur! Kamu tidak apa-apa?"

Udara dingin yang menyapu bagian depan tubuh perlahan menariknya kembali ke alam sadar. Arthur membuka matanya perlahan. Lalu menutupnya kembali. Berkas cahaya lampu terasa menyengat setelah dia hilang kesadaran beberapa menit.

"Arth---"

"Tenanglah, Nona. Dia masih hidup, kok."

Oh, dia masih hidup... Suatu kelegaan yang luar biasa. Baru pertama kali ini dia kena serangan beam-type langsung. Dia bernafas pelan untuk menyesuaikan diri dengan rasa sakit di dadanya. "Aduh."

"Jangan bergerak, Arthur. Biar kami merawat lukamu dulu." Suara khawatir Vienna memberitahu. Lalu ada yang menyapukan cairan dingin ke dadanya. Sensasi panas membakar itu perlahan berkurang, meski rasa sakit saat bernafas masih merayap di balik kulit.

"Orang-orang itu. Bagaimana?" Arthur kesulitan menyusun kalimat utuh karena rasa sakit.

"Kabur." Vienna menjawab seadanya, seakan dua buronan yang gagal tertangkap bukan prioritas saat itu. Decakan kesal keluar dari mulut Arthur.

Setelah matanya berhasil menyesuaikan diri, diperhatikan sekelilingnya. Sepertinya dia sedang berada di rumah sakit -- tirai putih yang menyekat ruang-ruang kecil dan seorang pria berjas putih sedang mengoleskan cairan obat.  Vienna, wanita berambut hitam disanggul, memperhatikan si dokter mengobati Arthur dengan penuh perhatian. Matanya mengikuti gerakan tangan dokter dan sesekali ikut meringis bersama Arthur.

"Jangan terlalu banyak bergerak. Asal rajin mengoleskan obatnya selama dua minggu, tidak akan ada masalah," kata si dokter.

"Perlu rawat inap?" tanya Vienna.

"Tidak." Bukan si dokter yang menjawab, tapi Arthur. "Uh. Kalau hanya bersekolah seperti biasa tidak akan masalah."

"Kamu janji---"

"Undergraduate tidak boleh masuk ke dalam pertempuran tanpa ijin supervisor," kata Arthur meyakinkan. Dia baru datang ke dunia ini beberapa hari, masak sudah harus dirawat di rumah sakit? Ini bisa mengurangi nilainya. 

Si dokter hanya tersenyum geli. Dia menutup botol berisi salep keperakan dan pergi keluar dari ruangan bersekat itu. Seorang pria, berambut coklat muda berantakan dan mengenakan jaket lusuh, gantian masuk. "Oooh! Sudah baikan?" Collin Clifford nyengir lega. "Dua orang itu lolos -- teleportasi acak beberapa saat sebelum akhirnya menghilang. Kalau radar kita lebih canggih, kurasa bisa kita lacak... Namun kita harus bertahan dengan--- Aduh!"

Vienna mencubit lengan Collin, memberinya kode untuk mengecilkan suaranya. Dari celah tirai Vienna melihat beberapa perawat 46th World menoleh penasaran, mendengar orang asing berbicara dalam istilah-istilah asing. "Ehem. Yah, pokoknya begitu. Kamu pikirkan saja sekolahmu besok. Tidak usah mengkhawatirkan yang lain -- berusahalah untuk beradaptasi di sana saja dulu." Collin menepuk pundak Arthur.

Arthur mengangguk kaku. Dia pikir lebih baik mengkhawatirkan masalah teknis misi ini bersama yang lain karena semua itu sudah dipelajari dalam Akademi. Namun tidak demikian dengan membaur dengan penduduk sipil, apalagi di dunia non-sihir. Dia mulai agak menyesal mengapa tidak menerima tawaran Vienna untuk dirawat inap beberapa hari. Setidaknya dia bisa memulihkan luka-lukanya dulu. Pasti akan menarik perhatian orang-orang kalau dia datang dengan tubuh menahan rasa sakit seperti habis ditabrak truk.

Sementara Collin menyiapkan kendaraan pulang ke 'rumah' baru mereka dan Vienna mengurus administrasi rumah sakit, Arthur sendirian di atas ranjang. Dia mengambil sebuah benda berbentuk kartu berwarna biru tua di atas meja kecil. Dia menghela nafas -- yang berusaha untuk tidak dilakukannya di depan Vienna dan Collin. "Pertempuran nyata beda dengan latihan di Akademi, ya, Armstrong."

"Worry not, Sir," Armstrong merespon.

Iya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia hanya sedikit meremehkan kekuatan lawan. Berikutnya tidak akan demikian. Lalu dia akan menyelesaikan misi ini tanpa dia sadari, lulus dari Akademi, dan akhirnya menjadi anggota tetap di Bureau... Nilai-nilainya bagus. Para guru juga mengakui kemampuannya.

Cukup gampang mengabaikan masa depan yang tidak pasti kalau kehidupan saat ini sudah baik.
exile_kid: (Default)
2011-12-20 10:27 pm

[FIC] [Lunel Chronica] You Are (Not) Alone

What: Jika LC memakai sistem HQ dan army ala Gensou Suikoden. Setelah sebuah event, Lucan merajuk dan pergi menyendiri di salah satu bagian kastil. Anju datang untuk menemani.
Fandom: Lunel Chronica.
Disclaimer: Lucan Rothstein adalah karakter milik Ai. Maaf kalau Lucan jadi OOC di sini. And I don't really know how Lucan's inner thought is exactly like, so I took liberal interpretation.

I suck at writing closing paragraph.

---


Dia tidak akan pernah berbuat sesuai harapan keluarganya. Dia akan selamanya terbuang.

Mungkin, saat ini kakaknya akan membicarakannya di hadapan para anggota Pris Gladami yang lain. Bagaimana mungkin seorang Rothstein lebih memilih bersama orang-orang dari negara lain daripada mengabdikan diri pada Odzwielg? Dia juga bisa membayangkan (tangannya ingin melayangkan tinju saat memikirkan ini) si rambut merah itu menyebutnya 'sampah, sampah'.

Namun apapun yang terjadi, dia tidak ingin menjadi seperti kakaknya. Dia yakin akan itu.

Benarkah, Lucan? Tidakkah kau tergiur dengan semua yang dimiliki kakakmu? 

Tidak akan pernah.

Lihatlah semua yang dimiliki kakakmu -- kekuatan! Rasa hormat! Diinginkan semua orang!

Untuk apa dia menjadi mirip seseorang yang dia benci?

Benci? Ataukah itu rasa cemburu?

Tidak, dia tidak cemburu. Jangan---

Lihatlah kasih sayang yang dilimpahkan ayahmu kepada Karen.

"Tuan Lucan---"

"DIAM!!"

Suara KLONTANG! dari kaleng yang jatuh membawa Lucan kembali ke Arcen. "M-Maaf, saya hanya membawakan makanan..." Dari suara rupanya si pelayan dari Yozakura itu.

"Aku tidak mau makan," kata Lucan tanpa menoleh sedikitpun. Dia merasakan kalau Anju masih berdiri di situ, tidak bergeming. Perasaan serba salah dari si gadis Yozakura mulai merayapi punggung Lucan dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Tidakkah dia bisa pergi saja? Lucan bukan anak kecil lagi. "Taruh saja makanannya di situ."

Terdengar suara nafas ditarik dalam-dalam. "T-Tidak bisa! Tuan Eclair meminta saya untuk memastikan kalau Tuan Lucan benar-benar makan." Lalu dia duduk di samping Lucan, agak menjauh. Di antara mereka ada satu baki berisi botol minuman dan setangkup roti isi tebal.

Satu detik, dua detik, lalu entah berapa lama mereka hanya mendengarkan desir angin malam yang melewati puncak kastil.

"Aku akan makan nanti," kata Lucan, berusaha mengusir Anju. "Kamu pergi, sana."

"T-Tidak mau." Anju berusaha menjadi sama keras kepalanya dengan si bungsu Rothstein.

"Untuk apa sih kau mengkhawatirkan aku? Aku bukan anak kecil lagi."

"Biarpun Tuan Lucan sudah dewasa, bukan berarti Tuan Lucan tidak boleh dipedulikan." Anju sedikit menggeser baki berisi makanan sederhana itu ke arah Lucan. "Kata Tuan Eclair dan Nona Citie, Anda belum makan apapun sejak berangkat dari kastil."

"Aku tidak lap---" Gruk gruk gruk.

Sial, kenapa sih perut ini harus berkhianat di saat yang tidak tepat? Anju bahkan tersenyum menang (atau itu rasa lega?) mendengar suara yang menyaingi deru angin malam itu. Dengan penuh gengsi, yang sayangnya tidak bisa meredam aktivitas pencernaan, Lucan meraih roti isi di sampingnya.

Kalau sedang lapar, apapun rasanya jadi enak.

"Tuan Lucan mau tambah?"

Lucan menggeleng sambil melahap roti.

"Kau jangan seperti Citie. Jangan menempel terus padaku," kata Lucan ketus.

"Mengurus makanan para anggota kastil ini adalah tugas saya," kata Anju, pertama kalinya sepanjang Lucan mengenalnya, dalam nada penuh kebanggaan. "Saya harus memastikan semua orang makan dengan baik. Apalagi Tuan Lucan adalah anggota penting."

Penting? Ha! Jangan bercanda. Orang-orang di kastil ini pun hanya merekrutnya karena dia adalah anggota keluarga Rothstein dan punya koneksi ke Odzwielg.

"Pasti menyenangkan, bisa berkeliling ke tempat-tempat lain tanpa mengkhawatirkan keselamatan diri," kata Anju. "Sayangnya saya tidak punya kemampuan untuk belajar sihir atau bela diri yang lain."

"Hmph. Kalau kau mau belajar, pasti akan bisa." Lucan merasakan sedikit ironi dalam kalimatnya. Sekelebat wajah para anggota keluarga Rothstein muncul di pikiran.

"M-Mungkin... Namun setidaknya saya bisa membantu yang lain di kastil ini," kata Anju cepat-cepat. "Karena itu, kalau Tuan Lucan butuh sesuatu, jangan segan-segan meminta bantuan pada saya!"

Meminta bantuan, eh. "Kau pikir aku tidak mampu melakukan semuanya sendirian?"

"Eh, um..."

Lucan mengeryit, tidak ingin mendengar jawaban Anju lebih lanjut. Namun anak berambut hitam itu tidak menyerah -- dari mana sih dia menjadi seperti ini? Pasti karena si Citie. Atau mungkin si tante Ma Ri itu.

"N-Ne. Saya pikir kita tidak akan pernah bisa melakukan semuanya sendirian... Karena memang kita tidak bisa melakukan semuanya, kan?" kata Anju takut-takut. "M-Maksud saya, akan lebih mudah kalau kita saling berbagi kekuatan. Bukankah itu tujuannya kita semua berada di sini sekarang? Sama seperti memasak... Ada yang menanam wortel, ada yang mengangkutnya ke pasar... Lalu saya memasaknya."

"Bukankah lebih mudah kalau melakukan semuanya sendiri? Tidak perlu menunggu yang lain."

"Tidakkah akan sangat kesepian kalau begitu?" kata Anju spontan. "Panen yang lezat pun tidak akan ada artinya kalau tidak ada orang lain yang memujinya."

Untuk apa hidup bagi orang lain? Mengharapkan pengakuan dari orang lain?

Ah, Lucan kecil, bukankah itu yang kau cari selama ini? Sebuah pengakuan? Bukankah sakit ini -- (ada rasa yang menyambar di dadanya) -- karena penolakan dari ayahmu? 

"Karena itu, kalau Tuan Lucan butuh makanan enak dan menyehatkan, jangan segan menemui saya! Saya tidak bisa membantu Tuan Lucan di medan tempur atau dalam kepintaran, tetapi masakan saya tidak akan mengecewakan!"

"...hari ini kau banyak bicara, Tominaga."

"E-Ehhh? M-Maaf!" Anju langsung panik. Mukanya memerah, tetapi terselamatkan oleh remangnya cahaya di luar kastil.

"Luuu~uuucan!"

"Ah, di sini kau rupanya!"

Eclair dan Citie. Makin ramai saja... Tidak bisakah dia tenang sejenak setelah semua kejadian hari ini?

"Saya permisi dulu, Tuan Lucan. Kalau sudah selesai makan silakan panggil saya lagi." Anju bangkit berdiri, membungkuk, dan pergi meninggalkan Trio Bazaar. Lucan hanya menghela nafas begitu Citie merangkulnya.

"Kau sudah baikan, Lucan?" tanya Eclair.

"Jangan cemberut terus, dong! Kami jadi khawatir," kata Citie. Dia menaruh jari telunjuk di dahi Lucan yang selalu berkerut itu.

"Kenapa sih kalian nempel terus padaku," gerutu Lucan.

"Hmm..." Citie berpikir, menanggapi serius keluhan Lucan. "Itu... karena kita teman! Tidak baik meninggalkan seorang teman sendirian!"

"Aku tidak butuh teman." Setidaknya tidak seperti kamu.

"Ehh, tapi," Citie melipat tangan dan memandang Lucan dengan cemberut, "biarpun kau bilang begitu, akhirnya kau tetap berkumpul bersama kami!"

Tidak begitu buruk kan, bersama teman-teman, Rothstein kecil?

 


exile_kid: (I won't let you look away from me)
2011-08-21 07:31 pm

[Lunel Chronica Fic] Mugunghwa, Pt. 1


Title: Mugunghwa, Pt 1
Series: Lunel Chronica
Characters/Pairing: Mostly about Ma Ri, a little Ma Ri/Anju in the next part, and planning to add my future NPC.
Disclaimer: Lunel Chronica dan universenya bukan punya saya, tapi Ma Ri adalah karakter aye!!

----

Kalian tahu cerita-cerita di mana sang wanita menikah dengan pujaan hati dan hidup bahagia selama-lamanya?

Mungkin dulu ayah dan ibuku juga berpikiran sama. Mereka kabur dari desa ke Qingzhouza tanpa persetujuan kedua orangtua mereka. Tinggal di ibukota dengan kehidupan baru. Tidak akan ada yang tahu masa lalu mereka sebagai anak petani. Dari apa yang kudengar mereka muncul sebagai pasangan muda biasa -- canggung, tanpa arah, tapi bahagia. Hidup seadanya di kontrakan kecil tidak mempengaruhi mereka.

Sampai aku lahir.

Mungkin itu adalah naluri seorang ibu. Hewan pun tidak akan mempunyai anak saat lingkungannya tidak bisa memberi sumber daya yang cukup. Tidak salah kalau seorang ibu dari bayi lima bulan berkata, "Sayang, tidakkah kau sebaiknya mencari pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik?"

Ayah, dengan tubuh petani yang kuat tapi tanpa pendidikan tinggi hanya mampu jadi seorang pasukan penjaga kota. Bayarannya lebih baik dibandingkan hanya menjadi kuli pasar. Sebagai pasukan tingkat rendah tidak ada resiko berarti, hanya pencuri cilik, maling, dan preman pasar yang menjadi keseharian ayah.

"Jangan khawatir. Pasti akan cukup."

Bayi lima bulan tentu saja berbeda dengan dua orang mantan petani bertubuh kuat. Seorang ibu menyusui yang hanya makan samgak kimbap dan nikujaga tidak bisa memberi air susu yang baik. Musim dingin adalah perang. Musim panen cukup melegakan karena harga makanan menurun. Keadaan tidak akan membunuhku yang masih bayi, tetapi Ibu tahu kami tidak bisa terus begini.

Berulangkali Ibu meminta ijin pada ayah agar diijinkan memiliki pekerjaan sampingan seperti Bibi Saya tetangga kami, tetapi harga diri Ayah melarang Ibu. Harga diri yang juga telah membawa mereka ke Qingzhouza. "Tidak baik meninggalkan anak perempuan sendirian. Jangan khawatir, pasti akan cukup."

Bahkan Ibu berpikir untuk kembali ke desa. Biarlah dia malu dan dicacimaki keluarganya, yang penting aku bisa tumbuh dengan baik -- begitu pikirnya.

Saat aku semakin sadar akan keadaan di sekelilingku, Ibu sudah kehabisan kesabaran.

Pada beberapa kesempatan dia akan pergi meninggalkanku di rumah dan kembali membawa sejumlah uang. Bukan jumlah yang besar, tetapi setidaknya cukup untuk lebih sering membeli daging dan kain untuk bahan baju baru dan biaya kontrakan. Ayah tidak pernah bertanya dari mana uangnya -- atau mungkin dia tidak pernah menyadarinya. Mungkin Ayah tahu tetapi menyangkalnya.

Kebisuan Ayah ternyata menjadi beban bagi nurani Ibu.

Aku masih berusia 8 tahun saat bertanya pada ibu, "Ibu, aku punya nenek dan kakek, tidak?"

Ibu diam meneruskan jahitan baju -- tangannya mendadak bergerak kaku -- selama beberapa saat. "Iya, Ma Ri punya kakek dan nenek, kok."

"Aku mau ketemu mereka!" kataku antusias. "Yang lain selalu bercerta tentang kakek dan nenek mereka. Aku juga mau punya cerita tentang kakek dan nenek!"

Ibu meletakkan kain di meja. Bagi Ibu mungkin ini kesempatan untuk kembali ke desa. "Ma Ri... Maukah kamu pergi dengan ibu?"

Aku masih terlalu kecil untuk menangkap kalimat dengan makna terselubung itu. "Tentu saja aku akan pergi dengan ibu dan ayah! Aku kan masih belum bisa bepergian sendiri!"

"Bukan, maksud ibu, pergi dari Qingzhouza selamanya. Tanpa ayah."

Aku tidak ingat apa jawabanku. Yang jelas jawabanku membuat Ibu pergi dari rumah dua hari kemudian. Dia tidak pernah kembali sejak saat itu.

------
 
Writer's note: (taken from koreanway.wordpress) In Korean, mugunghwa means “immortal flower.” The flower’s tenaciousness, seen it’s ability to survive even insect attacks, makes it an appropriate symbol for country that has fought throughout history for it’s very existence. Despite wars and occupation, the Korean culture and people have persevered and endured.